Renungan Harian 25-30 Mei 2009

Senin, 25 Mei 2009
FUNGSI KENAIKAN-NYA. (Kisah Para Rasul 1:1-11)

Sewaktu kecil saya sangat menyukai cerita tentang kenaikan Yesus. Saya membayangkan bagaimana Dia dengan tangan terentang dan penuh keagungan perlahan-lahan naik ke angkasa. Saya bertanya-tanya dalam hati mengapa Dia naik ke surga dengan cara yang terlihat secara jasmani, mengapa Dia tidak menghilang begitu saja seperti yang Dia lakukan setelah kebangkitan-Nya. Saya juga bertanya-tanya di mana surga itu dan apa yang Yesus lakukan di sana.
Mengapa Yesus naik dengan cara yang dapat dilihat oleh mata? Mungkin untuk menunjukkan bahwa tugas-Nya di dunia sudah selesai, dan bahwa murid-murid-Nya sudah tidak dapat melihat-Nya lagi. Dia telah menebus dosa-dosa kita (Roma 5:8), mengalahkan Setan (Ibrani 2:14), dan mematahkan kuasa maut (Wahyu 1:18). Dia telah memberikan semua bukti dan juga perintah yang dibutuhkan para murid untuk hidup bagi Dia (Kisah Para Rasul 1:1-3).
Untuk apa Dia naik ke surga? Untuk mengaruniakan “pemberian-pemberian kepada manusia” (Efesus 4:8), untuk mengutus Roh Kudus (Kisah Para Rasul 2:33), untuk menjadi Pembela (Roma 8:34) dan Pengantara kita (1 Yohanes 2:1), dan untuk menjalankan peran-Nya sebagai Kepala jemaat (Efesus 1:20-23).
Di manakah surga itu? Dulu saya mengira surga berjuta-juta kilometer di luar angkasa. Namun kini saya bisa membayangkan surga itu dekat dengan kita sekalipun tak dapat dilacak. Saya tahu Yesus ada di sana, dan suatu hari nanti saya juga akan berada di sana. Hal ini membuat saya bersyukur dan bersukacita. Betapa bahagianya kita mempunyai Juruselamat yang telah naik ke surga!.
Renungkan: Karya Yesus telah digenapi bagi kita kini Roh-Nya bekerja dalam diri kita. (HVL)

Selasa, 26 Mei 2009
MENGAPA HARUS ADA KENAIKAN?. (Yohanes 16:5-15, Lukas 24:50-53)

Allah membangkitkan Yesus dari antara orang mati dan mendudukkan Dia di sebelah kanan-Nya di surga (Efesus 1:20). Namun, empat puluh hari sebelumnya Yesus menampakkan diri kepada para murid-Nya. Kemudian terjadi sesuatu yang besar pada hari ke-40. Dengan disaksikan oleh murid-murid-Nya, Dia perlahan-lahan naik ke langit sampai awan menutupi-Nya dari pandangan mereka (Kisah Para Rasul 1:9).
Mengapa Yesus tidak tetap tinggal di bumi? Dia telah memberitahu murid-murid-Nya bahwa Roh Kudus tidak akan memulai pekerjaan-Nya jika Dia tidak pergi (Yohanes 16:7). Karena itu telah tiba saatnya bagi para murid untuk mempercayai firman-Nya daripada bergantung pada penglihatan mereka saja (20:25,29). Kenaikan sang Guru yang tampak oleh mata untuk terakhir kalinya adalah cara yang dramatis untuk menyampaikan kepada mereka bahwa era baru akan dimulai.
Yesus akan mengirim Roh Kudus dari surga untuk menggantikan kehadiran-Nya secara fisik. Kristus akan membangun gereja dan memerintah sebagai Kepala (Efesus 1:22-23). Dengan Roh-Nya Dia akan tinggal di dalam diri para pengikut-Nya dan memenuhi mereka dengan kekuatan serta kedamaian. Di surga Dia akan menjadi perantara bagi mereka di depan takhta Bapa (Ibrani 7:25). Kehadiran-Nya tidak lagi kelihatan, tetapi Dia tetap menyertai mereka secara nyata (Matius 28:19-20).
Kebenaran ini berlaku bagi semua orang percaya. Oleh sebab itu, sudah sepatutnya kita bersyukur atas kenaikan Yesus ke surga.
Renungkan: Yesus naik ke surga agar dapat melanjutkan karya-Nya di bumi. (HVL)

Rabu, 27 Mei 2009
IMAN SEORANG ANAK KECIL. (Matius 18:1-5)

Pada suatu hari Minggu, saya mendengar Mike bercerita tentang hubungannya dengan kedua ayahnya, yaitu ayah yang membesarkannya sejak kecil, dan Bapanya di surga.
Pertama, ia menggambarkan bahwa pada masa kanak-kanak ia percaya kepada ayah duniawinya secara "sederhana dan tidak berbelit-belit". Ia mengharapkan ayahnya membetulkan barang-barang yang rusak dan memberinya nasihat. Ia takut mengecewakan ayahnya. Padahal kasih sayang dan pengampunan sang ayah selalu tersedia baginya.
Mike melanjutkan, "Beberapa tahun yang lalu saya berbuat kesalahan yang menyakiti banyak orang. Karena merasa bersalah, saya memutuskan hubungan yang menyenangkan dengan Bapa surgawi. Saya lupa kalau saya dapat memintanya untuk memperbaiki apa yang telah saya rusakkan dan meminta nasihat-Nya."
Tahun-tahun berlalu. Mike sangat merindukan Allah, tetapi ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Pendetanya hanya berkata, "Mohon ampunlah kepada Allah dengan sungguh-sungguh!"
Namun, Mike malah mengajukan pertanyaan yang berbelit-belit, seperti "Apakah ini akan berhasil?" dan "Bagaimana jika ...?"
Akhirnya pendetanya berdoa, "Allah, berilah Mike iman seorang anak kecil!" Tak lama kemudian Mike bersaksi dengan penuh sukacita, "Aku telah menerimanya!"
Hari itu juga Mike kembali menemukan kedekatannya dengan Bapa surgawi. Kuncinya adalah dengan mempraktikkan iman seorang anak kecil yang sederhana dan tidak berbelit-belit .
Renungkan: Iman seperti anak kecil memancarkan sinar paling terang. (Joanie Yoder)

Kamis, 28 Mei 2009
PERSAINGAN HIDUP. (Pengkhotbah 4:1-8)

Sebuah papan di tepi jalan bertuliskan demikian: "Saya muak dengan persaingan hidup ini. Semakin lama semakin banyak orang yang licik dan tidak setia." Tak perlu diragukan lagi, banyak orang merasa demikian. Karena kemajuan pesat dalam bidang teknologi, tingkat frustrasi manusia tampaknya semakin tinggi dari sebelumnya. Sebenarnya, inti permasalahannya adalah karena sifat dosa manusia belum berubah.
Hampir 3.000 tahun yang lalu Salomo membuat tiga pernyataan tentang persaingan hidup pada zamannya. Pertama, ia mengatakan bahwa keinginan untuk menjadi lebih unggul dari orang lain adalah motivasi di balik kerja keras manusia, dan dalam hal ini tidak ada seorang pun yang menang (Pengkhorbah 4:4).
Kedua, mereka yang menyerah dalam persaingan menjadi malas dan tidak produktif. Kemalasan semacam ini adalah tindakan yang bodoh dan merusak diri sendiri (ayat 5).
Ketiga, Salomo mengatakan bahwa banyak orang terlalu berobsesi mencari uang sehingga mengabaikan hubungan yang sehat dengan orang lain. Hal ini membuat mereka menjalani kehidupan tanpa arti dan tujuan serta tidak pernah puas dengan apa yang telah mereka kerjakan (ayat 8).
Ingatlah, "segenggam ketenangan lebih baik daripada dua genggam jerih payah dan usaha menjaring angin" (ayat 6). Untuk menghindari ketamakan atau khayalan yang merusak diri sendiri, jadikanlah Allah sebagai pusat hidup Anda dan bersyukurlah atas apa yang telah Dia berikan kepada Anda. Dengan demikian Anda akan berhasil dalam persaingan hidup ini.
Renungkan: Orang kaya adalah orang yang merasa puas dengan apa yang telah Allah berikan. (HVL)

Jumat, 29 Mei 2009
MANFAAT PENDERITAAN. (Mazmur 73:21-28)

Seseorang yang sinis bertanya kepada seorang Kristen yang sudah tua, yang pernah mengalami sakit parah selama 20 tahun, “Apa yang Anda pikirkan tentang Allah saat ini?” Orang tersebut menjawab, “Saya justru lebih bergantung kepada Dia dalam keadaan seperti ini.”
Penderitaan memang dapat menjadi suatu sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ketika kemalangan datang bertubi-tubi dan menggerogoti kesehatan, teman-teman, uang, dan saat-saat yang menyenangkan, maka Allah menjadi satu-satunya pegangan hidup kita. Kita mengasihi-Nya semata-mata karena Dia dan bukan karena hal-hal yang Dia berikan.
Pada saat-saat seperti itu, kita akan cenderung berseru seperti pemazmur, “Siapa gerangan ada padaku di surga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi” (Mazmur 73:25). Penderitaan dapat menuntun kita sampai pada suatu titik sehingga kita dapat berkata, “Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya” (ayat 26).
Kemudian kita juga harus ingat bahwa di depan kita terbentang surga, tempat “Ia akan menghapus segala airmata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita” (Wahyu 21:4). Penderitaan akan menuntun kita ke suatu tempat yang tidak mengenal rasa kehilangan suatu tempat yang tak ada kesedihan, tempat kita hanya akan bersukacita dan melayani Allah. Inilah cara pandang yang benar tentang penderitaan. Inilah manfaat penderitaan.
Renungkan: Saat kita tidak mempunyai apa-apa lagi selain Allah kita akan mendapati bahwa Allah saja sudah cukup. (DHR)

Sabtu, 30 Mei 2009
MEMBEBASKAN DIRI. (2Tesalonika 3:6-13)

Ibu dari seorang remaja agak marah karena anaknya tidak dapat bertindak dewasa seperti yang diinginkannya. Sambil menarik napas panjang ia berkata, "Dua tahun lagi baru di SMP." Si anak dengan gayanya yang khas menjawab sambil tersenyum, "Bu, mengapa Ibu tidak beristirahat saja selama dua tahun ke depan?"
Sering kali kita lebih suka menghindari suatu keadaan dengan cara "membebaskan diri." Saat anggota keluarga kita sakit kronis, mungkin kita tergoda untuk lari dari keadaan itu. Saat anak-anak memberontak dan mengakibatkan sulitnya menjadi orangtua, kita lebih suka mengambil libur panjang agar terbebas dari situasi sulit tersebut. Kemudian ada pula saat-saat tatkala kita menghadapi peperangan rohani yang dahsyat, sehingga kita berkeinginan untuk melompati saat-saat itu dengan cepat.
Secara singkat Paulus berbicara tentang pergumulan serupa dalam 2Tesalonika 3. Ia menyebutkan tentang bagaimana menyikapi orang-orang yang "tidak tertib hidupnya, . sibuk dengan hal-hal yang tidak berguna" (ayat 11). Menghadapi permasalahan dengan orang lain dapat membuat kita frustrasi. Namun Paulus memberi sebagian jalan keluar saat ia berkata, "Janganlah jemu-jemu berbuat apa yang baik" (ayat 13). Sebagian jalan keluar lainnya dapat kita dengar dari pemazmur yang berkata, "Serahkanlah kuatirmu kepada Tuhan, maka Ia akan memelihara engkau!" (Mazmur 55:23).
Jika "membebaskan diri" tampak mustahil, kita dapat memiliki pengharapan dari saran berikut: Tetaplah berbuat apa yang baik dan tetaplah memusatkan perhatian Anda kepada Allah. Hal ini lebih baik daripada mengambil tindakan membebaskan diri.
Renungkan: Tatkala Allah menguji kesabaran anda dia sedang berusaha membesarkan jiwa anda. (JDB)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar