Renungan Harian 26 - 31 Oktober 2015

RENUNGAN SEPANJANG MINGGU

Senin, 26 Oktober 2015
MENGASIHI BERARTI BERKURBAN (1 Yohanes 3:11-18)
Ludy melahirkan anak kami melalui operasi caesar. Selama beberapa hari ia menahan rasa sakit yang sangat nyeri. Ia juga mesti sering bangun pada malam hari untuk menyusui si kecil. Akibatnya, ia sering kelelahan karena kurang istirahat. Tetapi, ia sama sekali tidak mengeluh. Ia selalu memandang bayi kami dengan mata yang bersinar penuh kebahagiaan dan kebanggaan.
Memang sudah lazim bagi kasih untuk berkurban (Yoh. 15:13). Ciri-ciri orang yang mengasihi adalah memiliki kesenangan yang meluap kepada pihak yang ia kasihi. Allah senang akan ciptaan-Nya. Kasih Allah merupakan salah satu kenyataan besar yang terdapat di alam semesta ini, suatu tiang sandaran harapan dunia. Tetapi, kasih-Nya itu juga merupakan sesuatu yang intim dan pribadi. Allah bukan mengasihi penduduk dunia secara massal, tetapi juga mengasihi setiap manusia pribadi demi pribadi. Dia mengasihi kita semua dengan kasih yang besar, kasih yang tidak berawal dan tidak berakhir. 
Julian dari Norwick berkata, “Jiwa kita secara istimewa begitu dikasihi oleh Dia sehingga kasih-Nya berada di luar jangkauan pengetahuan segala makhluk. Itu berarti bahwa dari segala makhluk ciptaan-Nya tidak ada satu pun yang dapat mengetahui betapa besar, betapa manis, dan betapa mesranya Sang Pencipta mengasihi kita.” Karena itulah Dia telah mengurbankan Anak-Nya untuk kita. Dan Dia mengharapkan kita melakukan hal yang sama. Kasih memotivasi kita untuk berkurban demi kesejahteraan orang yang kita kasihi.
KASIH TIDAK MENUNTUT KEPENTINGAN DIRI SENDIRI, MELAINKAN SENANTIASA MEMBERI DEMI KESEJAHTERAAN ORANG LAIN.

Selasa, 27 Oktober 2015
BERDOA? SAYA BISA! (1 Yohanes 3:11-18)
Tim visitasi mengunjungi seorang nenek, anggota jemaat, yang sakit. Ia tinggal sendirian, anak-anaknya merantau ke kota-kota lain. Soal makan sehari-hari, salah seorang anaknya melanggankan catering service. Saat mengunjungi si nenek, salah seorang ibu anggota tim melihat ada tumpukan piring dan baju kotor di rumahnya. Selesai berbincang akrab, dan saat hendak pulang, salah satu anggota tim itu bertanya kepadanya, “Oma, ada yang perlu kami doakan?” Setelah berpikir sejenak, ia menjawab, “Nak, kalau berdoa saya bisa, tapi jika kalian rela, tolong cucikan piring-gelas dan baju-baju kotor itu.”
Sering kali kita ini “omdo” atau omong doang. Kasih kita berhenti hanya sebatas kata-kata. Jangankan tuntutan seberat “menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita” seperti Kristus (ay. 16), menolong orang lain saja kita jarang sekali melakukannya. Alasan yang kita berikan cukup masuk akal: “Memenuhi kebutuhan dan kepentingan diri sendiri saja masih susah, masakan mau membantu orang lain. Nantilah, kalau saya sudah mampu, saya akan menolong orang lain.” Namun, ungkapan “kalau saya mampu” menyiratkan keengganan, karena kita tidak tahu kapan kita merasa sudah mampu!.
Hal pertama yang kita butuhkan untuk menolong sesama adalah kemauan, diiringi dengan memohon pertolongan Tuhan agar Dia memampukan. Sehingga, di dalam Tuhan, kita memenuhi perintah Yohanes, “... marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran.”
PERKATAAN TAK AKAN MENJADI TINDAKAN JIKA TAK DISERTAI KEMAUAN MEWUJUDKANNYA

Rabu, 28 Oktober 2015
DENGAN PERBUATAN (1 Yohanes 3:11-18)
Kasih adalah pengikat hubungan. Hubungan yang sehat berlangsung timbal balik, bukan hanya satu arah. Kasih dalam hubungan terungkap melalui cara kita memperlakukan orang yang kita kasihi. Sayangnya, dalam hal mengasihi, orang kerap berhenti pada mengucapkan atau membicarakannya. Orang kerap lalai bahwa kasih perlu ditunjukkan dalam bentuk perhatian dan perbuatan.
Pada suratnya yang pertama, Rasul Yohanes berbicara tentang kasih. Ia mendorong kita agar mengasihi dengan perbuatan, bukan dengan perkataan. Kata-kata atau ungkapan dari bibir kita itu memang penting, tetapi menjadi tidak bermakna jika tidak terwujud dalam perbuatan. Perbuatan ini pun, lanjut Yohanes, bergerak dalam koridor kebenaran. Artinya, kita menyadari bahwa kasih itu bukan bersumber dari diri kita sendiri. Kasih itu bersumber dari Allah, yang sudah terlebih dulu mengasihi kita melalui penebusan Kristus (ay. 16), dan dengan demikian memampukan kita untuk mengasihi.
Bagaimana kita menerapkan kasih itu? Jika kita memiliki sesuatu dan melihat saudara kita kekurangan, kita harus segera membantunya (ay. 17). Tidak cukup kita hanya berkata-kata pada seseorang, tanpa benar-benar mencari tahu keadaan atau masalah yang sedang ia hadapi. Akibatnya, kita tidak dapat memberikan bantuan atau dorongan semangat yang tepat. Atau, kita tahu ada teman yang sedang bermasalah, namun kita diam saja, padahal sebenarnya kita dapat membantu. Sebuah perhatian kecil yang tulus, bisa jadi akan sangat bermakna baginya.
PERKATAAN KASIH TANPA DIDUKUNG PERBUATAN IBARAT SAYUR TANPA GARAM

Kamis, 29 Oktober 2015
KASIH PENGUIN KAISAR (1 Yohanes 3:11-18)
Penguin kaisar bertelur satu butir setiap musim kawin. Si jantan bertugas mengerami telur itu dengan menjepitnya di antara kaki dan lipatan lemak di sekitar perutnya selama kira-kira 64 hari. Ia berada dalam kumpulan besar penguin jantan yang berdempetan saling menghangatkan di tengah musim dingin Antartika. Sementara itu, si betina kembali ke laut untuk mencari makan. Ia akan kembali ke sarang menjelang anaknya menetas. Apabila ia terlambat, si jantan dapat memberi makan anaknya dengan cadangan yang diambil dari saluran pencernaannya sampai selama sepuluh hari. Itu akan membuatnya kehilangan setengah bobot tubuhnya. Begitu si betina muncul, giliran si jantan pergi ke laut. Selanjutnya mereka bergantian mencari makan untuk membesarkan si kecil.
Kehidupan unggas kutub tersebut menggambarkan bahwa kasih itu bukan konsep atau kata-kata manis belaka. Kasih adalah kata kerja. Kasih sejati diungkapkan melalui tindakan yang mengutamakan kesejahteraan orang lain, bahkan apabila perlu dengan mengorbankan kepentingan pribadi. Sebagaimana Kristus menyerahkan nyawa-Nya untuk kita, kita pun diperintahkan untuk menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita.
Actions speak louder than words (Tindakan berbicara lebih keras daripada kata-kata). Kasih tidak cukup hanya dinyatakan dengan perkataan, tetapi mesti diwujudkan dalam perbuatan. Sejauh mana tindakan kita mengungkapkan kasih kita bagi saudara-saudara kita? Apakah kita secara bermurah hati menyerahkan nyawa kita waktu, tenaga, talenta, uang bagi saudara-saudara yang memerlukan pertolongan? 
KASIH ADALAH MEMBERI DENGAN PENUH PENGORBANAN TANPA SYARAT DAN TANPA PAMRIH

Jumat, 30 Oktober 2015
KASIH YANG MENYEHATKAN (1 Yohanes 3:11-18)
Universitas Yale pernah mengadakan riset yang melibatkan 119 pria dan 40 wanita. Pembuluh darah koroner mereka diperiksa untuk dibandingkan. Kesimpulannya, orang-orang yang merasakan dukungan dan cinta dari pasangannya memiliki risiko penyumbatan arteri jantung yang lebih rendah daripada mereka yang tidak mengalaminya. Perasaan dikasihi ternyata menghasilkan efek yang positif terhadap kesehatan jantung. Selain itu, dengan mengungkapkan kasih, orang juga akan memiliki tubuh yang lebih segar.
Sekitar 2.000 tahun yang lalu, Yesus memberikan perintah kepada murid-murid-Nya untuk saling mengasihi (Yoh. 13:34). Karakteristik saling mengasihi ini dimaksudkan sebagai ciri khas yang membedakan antara murid Yesus dan orang lain. Kasih menjadi tanda pengenal murid Yesus. Dalam salah satu suratnya, Rasul Yohanes mengingatkan jemaat mengenai perintah Yesus tersebut. Ia mengajak orang percaya untuk mengasihi bukan hanya dengan perkataan, melainkan juga dengan perbuatan dan dalam kebenaran (1 Yoh. 3:18).
Sayangnya, saat ini banyak orang percaya seakan melupakan perintah Yesus dan ajakan Yohanes tersebut. Ada yang membiarkan hidupnya dikuasai kebencian. Ada pula yang hatinya dicengkeram dendam terhadap orang lain. Padahal, semua itu hanya akan merugikan kehidupan kita sendiri. Kabar baiknya, kita bisa melakukan sesuatu untuk mengalami hidup yang sehat dan penuh ketenteraman. Caranya ialah dengan berhenti menyimpan kepahitan dan mulai membiasakan hidup dengan mengasihi sesama.
SATU KATA MEMBEBASKAN KITA DARI BEBAN DAN RASA SAKIT. KATA ITU IALAH CINTA”. (SOPHOCLES)

Sabtu, 31 Oktober 2015
SYARAT ATAU BUKTI? (1 Yohanes 3:11-24)
Saya baru menyadari bahwa makin lama kepekaan sosial kami sekeluarga makin terkikis. Kami sekeluarga tanpa terganggu masih bisa tetap menyantap makanan lezat sambil menyaksikan tayangan seorang pengemis yang mengais sisa makanan di tong sampah. Kami makin jarang terusik ketika mendengar berita kelaparan di sebuah tempat, atau mendengar banyaknya jumlah korban banjir di tempat lain. Saya takut nurani kami menjadi mati.
Rasul Yohanes mengingatkan bahwa kasih kepada sesama itu sangat terkait dengan keselamatan kita (ayat 14). Perhatikanlah ayat 14 dari bacaan kita. Ayat ini sering dibaca dengan penekanan yang keliru. Prinsip yang muncul menjadi: jika kita mengasihi saudara kita, kita akan diselamatkan. Namun, cara membaca ini tidaklah sesuai dengan maksud rasul Yohanes dalam keseluruhan suratnya, maupun dengan kebenaran lain di seluruh Alkitab. Pengertian yang benar adalah: kasih kepada saudara merupakan bukti bahwa kita sudah diselamatkan. Kasih kepada sesama membuat kita tahu kita sudah dilepaskan dari maut.
Seseorang yang tidak mempunyai kasih, patut dipertanyakan pembaruan hidupnya. Kasih yang dimaksud bukanlah hanya dikhotbahkan atau dinyanyikan, tetapi diwujudnyatakan dalam tindakan praktis. Ukuran sederhananya adalah kerelaan untuk menolong sesama yang berkekurangan (ayat 17). Menutup pintu hati terhadap sesama bisa saja tidak pernah kita sadari. Kapankah terakhir kali kita melihat orang yang membutuhkan pertolongan? Adakah nurani kita terketuk? Adakah hati kita dipenuhi belas kasihan? Mari pancarkan kasih Kristus yang telah memperbarui hidup kita melalui kesediaan kita menolong sesama.
RELA MEMBERI DAN BERBAGI ADALAH BUKTI BAHWA HIDUP KITA SUDAH DIPERBARUI.

1 komentar: