Renungan Harian 15 - 20 Juni 2015

RENUNGAN SEPANJANG MINGGU

Senin, 15 Juni 2015
ORANG KRISTEN TINGKAT DASAR (Galatia 3:1-14)
Sebagian besar dari kita memulai karier dari posisi yang terendah. Dalam posisi tersebut ditentukan standar gaji terendah pula. Setelah kita bekerja selama beberapa saat dan membuktikan kemampuan, biasanya kita mendapatkan promosi ke pekerjaan yang memberikan tanggung jawab dan gaji yang lebih besar. Pekerja-pekerja yang baik biasanya tidak tinggal pada tingkat dasar untuk waktu yang lama.
Orang Kristen juga tidak seharusnya tinggal pada "tingkat dasar" untuk waktu yang lama. Paulus menegur jemaat Galatia karena mereka tetap berada pada tingkat dasar dalam kehidupan rohani mereka. Ketergantungan yang kuat pada hukum-hukum Musa menghambat mereka untuk bertumbuh. Mereka memulai dengan kekuatan Roh Kudus, tetapi mengalami kemunduran karena bergantung pada perbuatan baik mereka sendiri dan bukan pada Kristus (Galatia 3:3).
Orang-orang percaya di Korintus mengalami masalah yang serupa. Mereka terus-menerus bertengkar dan memusatkan perhatian pada manusia dan perbuatan mereka (1Korintus 3). Mereka berperilaku seperti bayi-bayi rohani dan bukan orang beriman yang dewasa dalam Kristus (ayat 1-2).
Masalah ini masih mengganggu kita saat ini. Kita berbangga atas usaha kita sendiri dan bukan atas apa yang telah Kristus lakukan bagi kita. Allah tidak akan terkesan oleh perbuatan-perbuatan baik kita.
Janganlah kita tetap tinggal di tingkat dasar. Sebaliknya, mari kita bertumbuh dalam kasih karunia dan melayani Tuhan dengan hati yang penuh kasih. Dengan bergantung pada Roh Kudus, kita dapat hidup dengan cara yang memuliakan Kristus. (DCE)
SEBAGIAN ORANG KRISTEN YANG SEHARUSNYA BERADA DI GARIS DEPAN
TERNYATA MASIH MENJALANI LATIHAN DASAR

Sumber : http://www.sabda.org/publikasi/e-rh/1998/03/16

Selasa, 16 Juni 2015
HANYA SATU PRINSIP (Habakuk 2:1-5)
Rabbi Simlai pada abad ketiga mencatat bahwa Musa menyampaikan 365 larangan dan 248 perintah. Daud dalam Mazmur 15 menyingkatnya menjadi sebelas. Yesaya 33:14-15 meringkasnya menjadi enam. Mikha 6:8 menjadikannya tiga, dan Habakuk menyimpulkannya menjadi hanya satu prinsip, yaitu ”orang yang benar itu akan hidup oleh percayanya” (2:4).
Firman itu datang tatkala Habakuk mencari Tuhan, menanti jawaban atas pengaduannya (pasal 1). Tuhan menjawabnya dengan penglihatan, suatu janji, tentang pembebasan dari penindasan bangsa Kasdim dan kedatangan Mesias (pasal 2-3). Karena penglihatan itu masih menunggu penggenapannya, ada orang yang mengabaikannya. Namun, orang benar akan menantikannya dengan hidup oleh percayanya atau imannya.
Apakah iman itu? Mengapa iman dianggap sebagai esensi ketaatan kita kepada Tuhan? Habakuk 2:4 dikutip tiga kali dalam Perjanjian Baru (Roma 1:17; Galatia 3:11; Ibrani 10:38) untuk menegaskan doktrin pembenaran oleh iman. Iman, menurut penulis kitab Ibrani, mengandung dua sisi. Pertama, iman berjalan seiring dengan pengharapan. Pangkalannya sama, yaitu keyakinan yang kuat bahwa Allah akan melaksanakan segala sesuatu yang Dia janjikan dalam Kristus. Kedua, iman memperlihatkan pada mata rohani kita perkara yang tak dapat dilihat oleh mata jasmani. Iman menyambut dengan segenap hati bahwa semua firman Tuhan itu kudus, adil, dan baik. Selanjutnya, iman mendorong kita untuk menerapkan firman tersebut dengan segenap tenaga. Apakah kita menantikan penggenapan janji firman Tuhan dan hidup oleh iman? (ARS)
SEBAGAIMANA PANCA INDRA BAGI TUBUH, DEMIKIANLAH IMAN BAGI JIWA

Sumber : http://www.renunganharian.net/2011/9-oktober/38-hanya-satu-prinsip.html

Rabu, 17 Juni 2015
SALAH MALAH MARAH (2 Tawarikh 26:16-23)
Saat itu mobil saya berhenti di persimpangan jalan hendak menyeberang. Tiba-tiba dari arah depan bersilang ada pengendara mobil yang memaksakan untuk berputar haluan bukan pada tempatnya, padahal sudut putarnya terlalu sempit. Ia menganggap mobil saya mengalanginya, lalu sambil marah ia membunyikan klakson sebagai peringatan agar saya mundur. Sungguh tidak tahu diri. Sudah salah, malah marah.
Hukum Musa mengatur upacara pembakaran ukupan sebagai tugas khusus yang diemban oleh para imam keturunan Harun (ay. 18-lihat Kel 30:7-8). Raja Uzia menyalahi aturan itu, ia melakukannya sendiri (ay. 16). Karena pelanggaran itu ia ditegur oleh imam Azarya beserta 80 imam lainnya (ay. 18). Uzia bersalah karena mengambil jalur peran yang bukan wilayahnya. Namun alih-alih mengakuinya, reaksi Uzia justru marah besar (ay. 19). Fatal baginya, Tuhan memberi tulah berupa kusta (ay. 20-21). Mengapa ia marah? Sebab, setelah merasa diri kuat, ia menjadi tinggi hati (ay. 16) tidak bisa lagi menerima teguran.
Sikap itu bukan monopoli raja Uzia. Kita pun tidak luput dari bahayanya. Keberhasilan, kehormatan, kekuatan, kekayaan, dan ketenaran bisa membuat orang silau. Terbuai dan termanjakan. Hanya melihat kehebatan diri, tidak menyadari kekurangannya. Hanya bisa menerima sanjungan, sukar mencerna teguran. Akibatnya, karena ditegur, bukannya berterima kasih kita malah marah. Semoga kisah raja Uzia menjadi peringatan serius bagi kita. (Pipi A Dhali /Renungan Harian).
KEBESARAN HATI SESEORANG TERUKUR DARI KESEDIAAN UNTUK DITEGUR
MESKI SUDAH MENJADI ORANG BESAR.

Sumber : http://www.sabda.org/publikasi/e-rh/2015/03/03/

Kamis, 18 Juni 2015
ANDA BEBAS? (1Korintus 6:12-20)
Milik siapakah diri Anda? Ketika saya mengajukan pertanyaan ini kepada diri saya sendiri, hati saya seolah-olah menganggap pertanyaan itu tidak masuk akal. Seperti Paulus yang menikmati hak dan kebebasannya sebagai warga negara Roma, saya juga dapat membanggakan diri sebagai orang bebas, setidak-tidaknya secara politik.
Olav Olavson adalah seorang warga negara Swedia yang bebas. Karena sedang mengalami krisis keuangan, pada tahun 1910 ia memutuskan untuk menjual tubuhnya kepada Karolinska Institute di Stockholm untuk dipakai dalam penelitian medis. Setahun berikutnya, kondisi keuangannya membaik sehingga ia memutuskan untuk "membeli" kembali tubuhnya. Namun institut tersebut menolak permohonannya untuk membeli kembali hak atas tubuhnya, dan hukum membenarkan penolakan tersebut. Bahkan institut itu menuntutnya karena ia telah mencabut dua buah giginya tanpa sepengetahuan mereka.
Kita semua adalah budak dosa dan telah mati secara rohani, kecuali jika kita dilahirkan kembali. Kita dapat terbebas dari hukuman dan kuasa dosa (dan betapa saya bersukacita karena telah dibebaskan) bila dengan tekun berdoa agar Yesus Kristus menjadi Pembebas kita. Kita akan mengalami kemerdekaan rohani tatkala kita menerima karunia pengampunan-Nya dan selanjutnya memberi diri sebagai hamba Allah (Roma 6:22)
Sungguh suatu kontradiksi yang begitu indah! Sebagai hamba Allah, kita dapat menikmati hidup dalam kemerdekaan, kedamaian, dan pengharapan sejati. (VCG)
UNTUK MENDAPATKAN KEMERDEKAAN SEJATI, SERAHKAN HIDUP ANDA KEPADA KRISTUS

Sumber : http://www.sabda.org/publikasi/e-rh/2002/07/04/

Jumat, 19 Juni 2015
TANGAN  YANG KOTOR (Roma 2:12-16)
Salah satu tokoh yang paling mengesankan dalam karya William Shakespeare adalah Lady MacBeth. Setelah mendengar ramalan bahwa suaminya akan menjadi raja, maka ia meyakinkan suaminya untuk membunuh raja yang pada saat itu sedang berkuasa. Ketika pembunuhan berdarah itu benar-benar telah dilakukan, MacBeth pun dikejar-kejar rasa bersalah. Namun sang istri malah mengomeli ketakutan MacBeth dan ia membantu suaminya untuk menutupi kejahatan itu. Sampai akhirnya, Macbeth pun dilantik menjadi raja. Namun, itu bukanlah akhir dari cerita ini.
Ketetapan hati Lady Macbeth akhirnya berubah menjadi penyesalan. Ia pun menjadi tidak stabil secara mental, dan tidak dapat berhenti mencuci tangannya. "Apakah tangan ini akan kotor selamanya?" tanyanya. Akhirnya, rasa bersalah membuat Lady Macbeth bunuh diri.
Rasa bersalah adalah perasaan yang dapat melemahkan setiap kali kita melanggar batas moral. Kita semua dapat mengalami rasa bersalah saat melanggar hukum Allah yang tertulis dalam hati kita (Roma 2:14,15). Jika kita terus berbuat dosa secara sadar, sebenarnya kita sedang menumpulkan hati nurani kita.
Kisah tentang Lady MacBeth tersebut mengingatkan kita akan prinsip alkitabiah: Apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya (Galatia 6:7,8). Pada saat kita merasakan adanya suatu godaan, kita perlu mendengarkan hati nurani kita jangan mengabaikannya. Jauh lebih baik menghindari tindakan yang akan membuat kita menyesal daripada hidup dalam konsekuensi pelanggaran kita tersebut. (HDF)
HANYA DARAH YESUS YANG DAPAT MENGHAPUS NODA DOSA

Sumber : http://www.sabda.org/publikasi/e-rh/2006/03/07/

Sabtu, 20 Juni 2015
CALO TIKET BUS (Matius 23:13, 23-28)
Apabila dipikir-pikir, ada yang "aneh" dengan tugas seorang calo bus. Setiap hari ia berteriak-teriak agar banyak orang di terminal menaiki bus yang akan menuju kota tertentu. Mencari dan membujuk begitu rupa para calon penumpang, sebanyak mungkin. Namun, ia sendiri tetap tinggal di terminal. Ia tidak masuk ke bus itu.
Bacaan kita hari ini menunjuk pada sekelompok orang yang melakukan hal serupa dengan calo bus, yakni hidup para ahli Taurat dan orang Farisi. Mereka adalah orang-orang yang tahu dan mempelajari Kitab Suci, tahu tentang surga dan neraka. Sayangnya, mereka malah merintangi banyak orang untuk masuk ke surga karena mereka menjadi "batu sandungan" dengan kemunafikannya. Dengan demikian, ironisnya, mereka sendiri tidak masuk ke surga (ayat 13).
Kesaksian hidup kita yang baik sebagai garam dan terang tentu sangat mendukung pemberitaan kita tentang Kristus dan Kerajaan Surga. Sebab ada banyak orang yang tertarik dan mau percaya kepada Kristus, tetapi kemudian mengurungkan niat begitu melihat orang-orang kristiani tidak menjadi teladan yang baik. Maka, sebenarnya orang tidak menolak Kristus, tetapi menolak "orang-orang kristiani" yang tidak punya kesaksian hidup yang baik. Seperti cawan dan pinggan yang dibersihkan sebelah luarnya (ayat 25), seperti kuburan yang dicat putih (ayat 27). Orang yang "di sebelah luar tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam penuh kemunafikan dan kedurjanaan" (ayat 28). Kiranya hidup kita dijauhkan dari kemunafikan, hingga hidup kita menarik orang kepada Kristus! (ACH)
JAUHI SEGALA KEMUNAFIKAN AGAR KESAKSIAN KITA MENARIK JIWA KEPADA TUHAN

Sumber : http://www.sabda.org/publikasi/e-rh/2011/01/20/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar