Renungan Harian 16 - 21 Februari 2015

RENUNGAN SEPANJANG MINGGU

Senin, 16 Februari 2015
KESADARAN BARU (Filipi 3:1-16) 
Setiap orang pasti punya sesuatu yang dibanggakan: kekayaan, pendidikan, pengalaman, koneksi, status, dan sebagainya. Hal-hal yang semestinya menjadi sampiran itu sedikit banyak seperti memberikan identitas pada diri kita. Jika tak hati-hati, siapa diri kita akan ditentukan oleh apa yang ada dan melekat dalam diri kita. Ini berbahaya.  
Paulus, dalam perjalanan hidupnya, mengalami pengalaman yang sedemikian mengubahkan sehingga segala macam sampiran hebat pada masa lalu, kini baginya adalah sampah. Bahasa asli yang dipakai Paulus ialah: “kotoran”. Penyebab perubahan itu ialah: pengenalan akan Kristus (ayat 8). Namun demikian, Paulus tetap sadar bahwa pengalaman itu adalah pengalaman anugerah, bukan pengalaman untuk mengendalikan Tuhan. Ia tetap sadar akan ketidaksempurnaannya: ”Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah sempurna ... aku mengejarnya, kalau-kalau aku dapat juga menangkapnya ...” (ayat 12). Pengalamannya dengan Tuhan tidak membuatnya sombong pun takabur.  Bukan karena ia telah menangkap Kristus, melainkan justru ia telah ditangkap Kristus. Paulus juga tak ingin dipenjara oleh pengalaman rohani hebat masa lalu. Baginya hidup rohani berarti berjalan maju menapaki masa kini menuju masa depan. 
Bagaimana dengan kita? Apakah kita hanya larut dalam kebanggaan kita pada masa lalu? Ataukah kita sadar penuh bahwa kita mesti selalu berjuang, dalam anugerah Allah, untuk makin lama makin mengenal-Nya? Kiranya teladan rasul Paulus meletakkan kehausan dan kerinduan dalam hati kita untuk hidup makin mengasihi Tuhan.
APAKAH YANG LEBIH BERNILAI DALAM HIDUP INI SELAIN KESEMPATAN UNTUK MAKIN MENGENAL-NYA HARI LEPAS HARI?

Selasa, 17 Februari 2015
MENJADI DIRI YANG SEBENARNYA (Filipi 3:1-11)
Di sebuah universitas di Inggris, sekelompok mahasiswa mengajukan pertanyaan berikut, "Kamu ingin menjadi apa?" Mereka melontarkan berbagai jawaban yang berbeda-beda, yakni atlet berprestasi, politisi yang berpengaruh, cendekiawan terkenal. Dengan malu-malu, namun pasti, seorang mahasiswa mengatakan sesuatu sehingga timbul keheningan yang dalam, "Kalian boleh menertawakan saya, tapi saya ingin menjadi orang kudus."
Bayangkan, orang kudus! Apa pun konsep mahasiswa itu tentang orang kudus, banyak orang di masyarakat sekuler kita yang akan memandang aneh ambisi tersebut. Namun sebagai orang kristiani, hal itu sepatutnya menjadi prioritas tertinggi dalam hidup kita. Inti dari kekudusan adalah menyerupai Yesus. Paulus berkata bahwa tujuan utama Allah Bapa adalah menjadikan kita serupa dengan Anak-Nya (Roma 8:29).
Tentu saja, setiap orang percaya memiliki jaminan keserupaan yang sempurna dengan Kristus di dunia yang akan datang nanti. Namun, Allah tidak ingin kita menanti dengan pasif hingga kita memasuki surga, di mana perubahan adikodrati itu terjadi (1 Yohanes 3:2). Kita harus bekerja sama dengan Roh Kudus untuk tumbuh menjadi lebih dan semakin lebih menyerupai Kristus "di dalam dunia ini" (4:17).
Ya, kita sudah menjadi orang-orang kudus karena kita beriman di dalam Kristus Yesus (Filipi 1:1). Namun, setiap hari kita menghadapi tantangan untuk menjadi diri kita yang sebenarnya, yakni keserupaan dengan Kristus di setiap bidang kehidupan kita.
MENJADI MILIK KRISTUS BERARTI MENJADI ORANG KUDUS. HIDUP SEPERTI ORANG KUDUS BERARTI MENJADI SEPERTI KRISTUS

Rabu, 18 Februari 2015
PENYAKIT TERBURU-BURU (Filipi 3:7-16)
"Cepat!" "Kita terlambat!" "Kamu terlalu lambat!" Seberapa sering ungkapan tidak sabar tiba-tiba muncul dalam percakapan kita, menunjukkan kehidupan kita yang serba tergesa-gesa? Bila tidak hati-hati, kita bisa menjadi orang yang selalu cepat-cepat, yang menuntut segala hal hadir segera dan hasil seketika. Para ahli stres menamai hal ini "penyakit terburu-buru".
Pada surat Filipi 3, Rasul Paulus mengatakan bahwa pertumbuhan yang berlangsung sepanjang hidup mengingatkan kita bahwa proses kedewasaan kristiani dapat didorong, tetapi tidak bisa dipercepat. Dalam buku Overcomers Through the Cross, Paul Billheimer berkata bahwa seperti halnya Allah membutuhkan waktu untuk membuat pohon ek, Dia pun memerlukan waktu untuk membentuk orang suci. Pendewasaan kristiani adalah proses sepanjang hayat.
Billheimer menulis, "Sebuah apel mentah tidak enak dimakan, tetapi kita tidak selayaknya menyalahkannya. Apel itu tidak enak dimakan karena Allah belum selesai membuatnya. Itu adalah sebuah tahapan dari proses dan hal itu baik adanya."
Apakah Anda merasa tidak sabar dengan perkembangan rohani Anda? Ingatlah, Allah belum selesai dengan Anda namun Dia juga tidak mengharapkan Anda tetap belum dewasa secara rohani sampai Dia memanggil Anda pulang. Pastikan bahwa tujuan hidup Anda adalah memahami Kristus dan menjadi seperti Dia. Kemudian pelan tetapi pasti, di bawah langit biru dan melalui badai, Dia akan membimbing Anda menuju kematangan. Inilah cara Dia menyembuhkan dengan pasti "penyakit terburu-buru" Anda.
TIDAK ADA JALAN PINTAS UNTUK MENCAPAI KEMATANGAN ROHANI

Kamis, 19 Februari 2015
TUJUAN BARU (Filipi 3:1-16)
Setelah berulang tahun ke-95, Margot Woelk bercerita kepada wartawan tentang pengalaman getir masa mudanya sebagai pencicip makanan Adolf Hitler. Ya, saking takutnya sang diktator diracuni musuh, ia mempekerjakan lima belas remaja perempuan untuk mencicipi makanan yang akan disantapnya. Kemiskinan dan kesulitan pada masa perang memaksa Margot mengambil pekerjaan itu. Saat melakukannya ia selalu ketakutan, “Apakah ini akan menjadi makanan terakhirku?” Selama puluhan tahun, ia terus mengalami teror kengerian. Hingga lanjut usia pun ia tak berhasil membuang ketakutan itu. “Pikiran itu terus menghantuiku setiap malam,” tuturnya pelan. 
Mengapa banyak orang gagal melupakan masa lalu yang kelam? Mereka tak punya tujuan baru yang hendak diraih. Lihatlah Saulus. Masa lalunya gelap, beringas, penuh kekerasan. Ia menangkap, menganiaya, memenjarakan banyak orang Kristen mula-mula. Dulu ia yakin pengikut Yesus itu musuh Allah, jadi mereka harus “dibasmi”. Namun, hidupnya berubah ketika Yesus menjamahnya. Saulus memperoleh pengampunan, hidup baru, tujuan baru. Ia mendapatkan panggilan untuk melayani dan memberitakan Injil keselamatan kepada bangsa-bangsa non-Yahudi. Bukan dengan kekerasan, tetapi dengan kasih dan pengurbanan diri.
Bila masa lalu Anda gelap, penuh derita dan kekerasan, tak cukup Anda hanya berusaha melupakannya. Anda perlu jamahan Yesus yang memberi hidup baru dan memampukan Anda menangkap tujuan baru, yakni memberkati banyak orang di sekitar Anda.
KEGETIRAN MASA LALU SIRNA SAAT ANDA DATANG PADA KRISTUS DAN MEMPEROLEH HIDUP SERTA TUJUAN YANG BARU

Jumat, 20 Februari 2015
FOKUS KE DEPAN (Filipi 3:1b-16)
Ketika kita mengemudi kendaraan, pandangan kita terutama terfokus pada hal-hal yang ada di depan kita. Kendaraan lain yang melintas, jalan yang mungkin berlubang, juga manusia atau hewan yang bisa saja tiba-tiba menyeberang. Sesekali saja kita harus menengok ke spion untuk memastikan tidak ada kendaraan yang sedang mengejar kita karena suatu keperluan atau barangkali ada kendaraan yang ingin mendahului kita pada saat kita ingin berbelok arah.
Demikian juga dengan cara kita menjalani hidup. Sebaiknya pandangan kita arahkan ke depan, berfokus pada apa yang menjadi cita-cita kita pada masa yang akan datang dengan disertai rasa optimis, doa, dan kerja keras. Masa lalu rentetan kejadian yang sudah tidak bisa diubah lagi kita gunakan sebagai bekal untuk menyongsong masa depan. Masa lalu adalah sejarah yang memberi kita pengalaman berharga agar kita lebih bijaksana dan teliti pada masa kini dan nanti.
Kita semua memiliki masa lalu. Ada yang gemilang sehingga orang seakan ingin terus memeluknya. Ada pula yang menimbulkan trauma sehingga orang terus dihantui oleh bayangan buruk. Kedua sikap itu sama-sama tidak sehat. Entah baik entah buruk, kita perlu belajar melepaskan masa lalu, agar kita dapat melanjutkan hidup dengan cara yang bermakna dan meraih pencapaian yang maksimal. Jadi, mari kita mengarahkan pandangan ke masa depan dan menjadikan masa lalu sebagai acuan untuk menjadi orang yang lebih baik pada masa kini dan nanti.
MASA LALU SEHARUSNYA MENJADI PENDORONG UNTUK MAJU, BUKANNYA BEBAN YANG MEMBUAT LANGKAH KITA TERTAHAN

Sabtu, 21 Februari 2015
INGATLAH AKAN  HADIAH-NYA (Filipi 3:7-14)
Anak saya Steve ingin berlatih menghadapi musim lomba lari lintas alam yang akan datang, dan saya pun ingin menjaga bentuk tubuh di usia setengah baya ini. Oleh karena itu, kami mulai berolahraga lari setiap sore.
Saat akan memulai olahraga, kami selalu penuh dengan tenaga. Namun setelah berlari melintasi rute yang direncanakan, kami mulai agak lelah. Saya memutuskan untuk menyediakan insentif yang dapat membuat kami terus berlari. Oleh karenanya, setiap malam saya memikirkan beragam jenis hadiah yang dapat mengalihkan perhatian kami dari rasa lelah itu.
Pada suatu malam hadiahnya berupa pizza. Setiap kali Steve ingin berhenti, saya berseru, "Pizza!" Dan itu membuat kami bertahan. Pada malam berikutnya, saya merencanakan hadiah berupa menonton sepakbola di TV sehingga kata kunci yang akan saya serukan adalah "sepakbola." Setiap malam hadiah yang baru membuat kami terus berusaha dengan keras.
Orang percaya pun dapat lelah hidup di dalam Kristus. Mungkin kita heran mengapa kita tetap mau hidup di dalamNya, mengapa kita memaksakan diri. Sebenarnya Paulus sudah menggunakan insentif motivasi jauh sebelum saya menggunakannya. Ia berkata, "[Aku] berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan surgawi dari Allah dalam Kristus Yesus" (Filipi 3:14).
Saat perlombaan hidup membuat Anda lelah, ingatlah bahwa hadiah terbesar untuk Anda sebagai seorang Kristen sedang menanti di garis finis, yakni bertatap muka dengan Kristus dan mengambil bagian dalam kemuliaanNya. Ingatlah akan hadiahNya, maka Anda akan tetap bertahan.
DALAM PERLOMBAAN HIDUP, JANGAN TERLALU CEPAT MENYERAH

1 komentar: