Renungan Harian 14 - 19 Juli 2014

RENUNGAN SEPANJANG MINGGU

Senin, 14 Juli 2014
KEBEBASAN UNTUK MAKAN MAKANAN:
SEBUAH RE-KONSIDERASI ANTARA PENGETAHUAN DAN KASIH - 1 KORINTUS 8:1-3 (BAGIAN I)
Paulus memulai dengan sebuah pemahaman general. Ia menggunakan kata ganti orang pertama jamak: kita, Paulus dan semua orang Kristen. Dalam ayat pertama, Paulus menggunakan kata “to eidolothyton”, yang dalam terjemahan bahasa Indonesia diartikan sebagai: daging persembahan berhala. Namun, dalam bahasa Yunani, penekanan dapat dengan jelas kelihatan. Karena “to eidolothyton” bermakna: something offered to images/sesuatu yang dipersembahkan pada “gambar-gambar”. “Gambar-gambar” di sini sudah mencakup sebuah kenyataan, bahwa sesuatu yang dipersembahkan itu hanyalah kepada sesuatu yang bukan allah pada dirinya sendiri. Ia hanyalah gambaran yang dimiliki oleh manusia mengenai Allah. Dan dengan demikian, hal tersebut disebut sebagai berhala. Maka, mengenai sesuatu yang dipersembahkan ini, Paulus memulai dengan sebuah afirmasi: kita memiliki pengetahuan mengenai hal tersebut.Konsep mengenai “pengetahuan” menjadi penting, karena dalam keseluruhan kitab Korintus, ada sepuluh kali kata tersebut muncul. Dan, lima dari sepuluh kali itu, muncul di dalam perikop ini. Karena itu, kita perlu melihat apa yang dimaksudkan Paulus dengan pengetahuan di sini.
Pengetahuan, secara sederhana, perlu kita lihat dalam terang ayat 4-6. Paulus merujuk pada sebuah pengetahuan yang mengatakan bahwa: tidak ada berhala di dunia ini. Hanya ada satu Allah saja bagi kita. Pengakuan ini adalah sebuah kredo yang mau mengatakan sebuah ketundukan pada satu Tuhan. Jadi, bagi Paulus pengetahuan yang sesungguhnya harus selalu dikaitkan dengan pengakuan iman yang benar. Ini adalah sebuah pengetahuan yang sifatnya mendasar bagi seluruh orang Kristen. Tetapi, kemudian Paulus menyadari sebuah penyimpangan yang ada di dalam jemaat Korintus. Pengetahuan yang seperti di atas, diterapkan secara “berlebihan” di dalam konteks praktis. Dan ini menyebabkan nuansa yang sifatnya arogan. Dengan pengetahuan yang mereka miliki: yaitu tidak ada berhala, mereka bertindak sesuka hati mereka untuk makan makanan yang sudah dipersembahkan pada berhala. Melalui renungan hari ini, mari kita sama-sama merenungkan: apakah pengetahuan kita akan Tuhan membawa kita pada penerapan yang sudah benar? (KSS)
APAKAH PENGETAHUAN KITA AKAN TUHAN SUDAH MEMBAWA KITA PADA PENERAPAN YANG BENAR?

Selasa, 15 Juli 2014
KEBEBASAN UNTUK MAKAN MAKANAN:
SEBUAH RE-KONSIDERASI ANTARA PENGETAHUAN DAN KASIH - 1 KORINTUS 8:1-3 (BAGIAN KEDUA)
Pada renungan sebelumnya, kita sudah belajar, mengenai penyimpangan terapan praktis dari konsep pengetahuan yang benar. Dengan melihat pada permasalahan seperti itu, Paulus kemudian menegaskan implikasi negatif dari pengetahuan, dalam sebuah kontras dengan kasih. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan di sini. Pertama, pengetahuan justru bisa membawa kepada arogansi (puffs up), tetapi kasih untuk membangun. Kedua, Paulus menegaskan, bahwa manusia tak akan pernah bisa tahu secara utuh mengenai Tuhan ataupun apapun yang berkaitan dengan Tuhan, diluar dari sesuatu yang diijinkan oleh Tuhan. Ketiga, penekanan pada mereka yang mengasihi, sebagai orang yang dikenal oleh Tuhan.
Pertama: pengetahuan kepada arogansi; kasih kepada sesuatu yang sifatnya membangun. Beberapa jemaat Korintus, memang mengetahui sebuah prinsip yang benar. Tetapi, sayangnya hal tersebut berujung pada sebuah arogansi, yang tidak memperhatikan mereka yang belum dewasa secara rohani.Di sini perlu diingat: Paulus tidak membenci pengetahuan. Tetapi, ia tidak setuju pada pengetahuan yang tidak digerakkan oleh kasih. Pengetahuan yang tidak berlandaskan pada kasih, akan membawa orang-orang pada kesombongan. 
Kedua: Pengetahuan akan Tuhan tak akan pernah bersifat utuh. Pengetahuan, hanya berdasarkan sesuatu yang diijinkan oleh Tuhan untuk diketahui. Paulus menyatakan ini dalam bentuk tersirat, ketika ia meragukan pengetahuan yang dimiliki oleh jemaat Korintus. Ia menggunakan kata “dokein”, yang mengasumsikan seseorang yang “berpikir kalau ia tahu akan sesuatu”, padahal ia tidak tahu. Frasa yang disandingkan dengan kata “dokein” adalah “kathos dei gnonai”, yang berarti “sebuah keniscayaan untuk mengetahui”. Jadi, pembahasan terhadap apa yang dikatakan Paulus adalah sebagai berikut: kamu jemaat Korintus, engkau berpikir kalau kamu tahu, padahal kamu sebenarnya tidak mencapai sebuah hal yang harusnya (keniscayaan) kamu ketahui. Paulus di sini hendak mengingatkan akan rasa aman palsu yang didapatkan dari sebuah pengetahuan yang sebenarnya tidak utuh. Melalui renungan hari ini, mari kita merefleksikan pengetahuan kita akan Tuhan. Apakah itu sudah berada dalam kerangka kasih? KSS
REFLEKSIKANLAH PENGETAHUAN YANG ENGKAU MILIKI DALAM SEBUAH KERANGKA KASIH!

Rabu, 16 Juli 2014
KEBEBASAN UNTUK MAKAN MAKANAN: SEBUAH RE-KONSIDERASI ANTARA PENGETAHUAN DAN KASIH - 1 KORINTUS 8:1-6. (BAGIAN KETIGA)
Pada renungan sebelumnya, kita sudah belajar dua hal mengenai kontras antara pengetahuan dan kasih. Poin ketiga dari kontras tersebut adalah berbicara mengenai: mereka yang dikenal Tuhan adalah mereka yang mengasihi Tuhan. Di sini, Paulus melakukan sebuah pergeseran dari pengetahuan yang sifatnya statis terhadap sesuatu (tidak utuh), kepada pengetahuan yang sifatnya asli (genuine), yaitu pengetahuan yang berlandaskan sebuah relasi. Pengetahuan yang sesungguhnya, bukanlah berdasarkan diri sendiri, tetapi berlandaskan pada sebuah relasi: dikenal oleh Tuhan. Paulus di sini menekankan akan “dikenal oleh Tuhan”. Frasa “dikenal oleh Tuhan”, menunjukkan adanya sebuah inisiasi dari Allah sebagai yang memiliki pengetahuan dan kasih tersebut. Dengan penekanan akan pengetahuan yang berlandaskan pada kasih, Paulus hendak menyatakan: pengetahuan yang utuh (kesempurnaan dari pengetahuan) akan terjadi, apabila seseorang itu dikenal oleh Allah. Dikenal oleh Allah berkorelasi dengan seseorang yang mengasihi Allah. Seseorang yang mengasihi Allah, memiliki pengetahuan yang benar akan Allah. Dan dengan demikian, dapat dikatakan, mereka yang memiliki pengetahuan yang benar akan Allah, seharusnya memiliki kasih kepada Allah. 
Dengan memberikan korelasi antara kasih dan pengetahuan, maka Paulus melanjutkan kembali penjelasannya mengenai persoalan “makan makanan yang dipersembahkan pada berhala”. Perlu diingat, Paulus juga mengkaitkan persoalan ini dengan pengetahuan mereka bahwa hanya ada satu Allah. Seolah-olah Paulus hendak mengatakan: memang benar, engkau jemaat Korintus, hanya ada satu Allah. Tetapi pengakuan imanmu, bahwa hanya ada satu Allah saja, seharusnya juga mengingat, ada sebuah prasyarat utama: absolute allegiance, ketaatan absolut/mutlak. Pengetahuan akan Allah yang adalah satu, tidak cukup. Yang utama adalah ketaatan mutlak pada Allah. Meski tidak ada yang namanya berhala membawa kepada sebuah implikasi: makanan yang dipersembahkan pada berhala, tidak memiliki arti. Karena, sebenarnya tidak ada berhala. Tetapi, seseuatu yang lebih perlu ditekankan adalah: apakah engkau sudah memiliki ketaatan total/mutlak kepada Tuhan? Ini menjadi sebuah pertanyaan reflektif bagi kita semua. (KSS)
SUDAHKAH KEYAKINAN KITA KEPADA TUHAN MEMBAWA KITA PADA SEBUAH KETAATAN TOTAL KEPADA TUHAN?

Kamis, 17 Juli 2014
KEBEBASAN UNTUK MAKAN MAKANAN: SEBUAH RE-KONSIDERASI ANTARA PENGETAHUAN, KASIH, DAN HATI NURANI. - 1 KORINTUS 8:7-11 (BAGIAN PERTAMA)
Ayat ketujuh dimulai dengan sebuah kontras dari Paulus. Setelah menjelaskan pada mereka yang punya pengetahuan, tentang sesuatu yang harusnya dilakukan berdasarkan pengetahuan mereka, Paulus kemudian melanjutkan dengan pernyataan: tidak semua orang memiliki pengetahuan, seperti yang engkau miliki. Pengetahuan di sini, merujuk pada apa yang sebelumnya disampaikan. Dan, pernyataan Paulus tentang mereka yang tidak punya pengetahuan, merujuk pada mereka yang memiliki kedewasaan rohani yang lebih rendah. Kedewasaan rohani yang lebih rendah, merujuk pada hati nurani yang lemah. Jadi ada kontras sebagai berikut:
  • Mereka yang “tahu”, mengetahui bahwa makanan yang dipersembahan kepada berhala, bukanlah apa-apa. Melainkan hanya sebuah makanan biasa.
  • Mereka yang “tidak tahu”, melihat makanan yang dipersembahkan kepada berhala, adalah memang makanan yang sudah dipersembahkan kepada allah-allah lain. Karena itu, mereka tidak boleh memakannya.

Alasan yang diberikan oleh Paulus mengenai mereka “yang tidak tahu” adalah dengan menggunakan kata “synetheia”, yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, sebagai “terikat”. Tetapi, penerjemahan yang lebih tepat adalah: becoming accustomed/habit/ terbiasa. Jadi, mereka yang dulunya, sebelum percaya kepada Tuhan, sudah terbiasa dengan kebudayaan mereka yang sebelumnya untuk memberikan persembahan kepada berhala. Kebiasaan ini kemudian terbawa ketika mereka sudah menerima Kristus. Kebiasaan tersebut, tidak direalisasi dalam bentuk sebuah tindakan. Tetapi, mereka masih merasakan, bahwa makanan tersebut betul-betul sudah dipersembahkan kepada berhala. Ini bukan persoalan mengenai kepercayaan mereka. Tetapi, berbicara mengenai kebiasaan yang sepertinya masih ada dalam bentuk perasaan yang tertanam dalam diri mereka. Jadi, Paulus hendak menegaskan kepada mereka yang sudah punya “tahu”: jangan sampai mereka membuat mereka yang masih belum dewasa ini, menjadi terganggu akan hal-hal seperti itu. Melalui renungan ini, kita kembali diingatkan akan keberadaan kita di tengah-tengah mereka yang belum dewasa secara rohani. (KSS)
INGATLAH, BAHWA KEBERADAAN KITA SEHARUSNYA MENJADI BERKAT BAGI ORANG LAIN DAN BUKANNYA MENJADI BATU SANDUNGAN.

Jumat, 18 Juli 2014
KEBEBASAN UNTUK MAKAN MAKANAN: SEBUAH RE-KONSIDERASI ANTARA PENGETAHUAN, KASIH, DAN HATI  NURANI (BAGIAN KEDUA) 1 KORINTUS 8:7-11
Dalam bagian sebelumnya, kita sudah melakukan pembahasan mengenai keterkaitan antara orang yang sudah “tahu” dan mereka yang “tidak tahu”. Pada bagian kedua, hari ini, kita perlu melihat pernyataan Paulus pada ayat delapan dan sembilan, mengenai “stumbling block/batu sandungan” dan “conscience/hati nurani”. 
Hati nurani, berdasarkan Paulus berarti adalah sesuatu yang dapat mengalami polusi ataupun dicemarkan (polluted/molynetai, 8:7). Artinya, hati nurani, dapat diperlemah dan dicemarkan. Selain itu, hati nurani juga dapat dikuatkan (oikodomothesetai, 8:10), ataupun dilukai (typtontes, 8:12). Dengan kata lain, hati nurani harus berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas. Ia dapat dicemarkan, dikuatkan, dan dilukai. Salah satu penafsiran yang tepat terhadap hal tersebut (hati nurani), adalah moral compass, kompas moral. “Kompas moral” berarti sesuatu yang berkaitan dengan evaluasi moral terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan. Evaluasi ini berkaitan dengan benar atau salahnya sebuah tindakan. Dengan demikian, ketika Paulus mengatakan “hati nurani yang lemah”, Paulus merujuk pada seseorang yang tidak mampu melakukan sebuah penilaian yang tepat terhadap sebuah tindakan. Karena itu, orang tersebut akan gampang terjebak pada pengaruh eksternal yang ada.
Batu sandungan, adalah kata yang perlu diperhatikan. Kata yang digunakan untuk batu sandungan adalah “proskomma”. Kata yang juga berkaitan erat dengan “skandalon” yang dikaitkan pada penyembahan berhala dalam Kitab Keluaran. Makna dari kata tersebut adalah: menghentikan seseorang dari sebuah proses menjadi anak-anak Allah. Artinya, ketika seseorang menjadi batu sandungan, ia sedang menjadi sebuah penghambat bagi orang-orang yang sedang berada dalam sebuah proses untuk menjadi anak-anak Allah secara utuh. Dua kata di atas perlu kita pikirkan sama-sama. Antara “hati nurani” dan “batu sandungan”. Paulus dengan tegas mengingatkan jemaat Korintus akan persoalan makan makanan, dalam kerangka “hati nurani” dan “batu sandungan”. Tidak lupa pula, ada kerangka “pengetahuan” dan “kasih”.
Jadi, mari kita merenungkan akan hal tersebut. (KSS)
JANGAN SAMPAI KITA MENJADI SESEORANG YANG MENGHAMBAT PROSES PERTUMBUHAN SESEORANG UNTUK SEMAKIN MEJADI SERUPA DENGAN KRISTUS!

Sabtu, 19 Juli 2014
MEREFLEKSIKAN RENUNGAN SELAMA SATU MINGGU - 1 KORINTUS 8:12-13
Dalam perenungan selama satu minggu ini, kita sudah diingatkan mengenai persoalan makan makanan yang dipersembahkan pada berhala. Persoalannya, bukanlah mengenai benar atau tidaknya. Tetapi, harus dilihat dari empat kriteria utama yang diberikan oleh Paulus: pengetahuan yang benar, kasih, hati nurani, dan batu sandungan. Keempat hal tersebut, saling berkaitan satu sama lain.  Dengan empat hal tersebut, Paulus kemudian memberikan sebuah peringatan terakhir dalam perikop ini: ketika engkau menjadi batu sandungan bagi saudaramu, maka kamu berdosa juga kepada Kristus. Kata yang digunakan adalah “melukai hati nurani”. Kata melukai menggunakan kata “typtontes”. Kata ini tidak hanya berarti menyebabkan luka pada seseorang, tetapi lebih keras lagi. Yaitu, striking a blow against. Nuansa yang ada adalah sebuah usaha penghancuran. Dan tindakan tersebut, adalah sebuah dosa kepada Tuhan. Paulus kemudian sampai pada sebuah kesimpulan pada ayat ketigabelas. Ia menggunakan pernyataan: jikalau memang ketika aku makan, menyebabkan saudaraku jatuh ke dalam dosa, maka aku tidak akan makan daging lagi, supaya aku tidak menjadi batu sandungan.
Mari kita memikirkan pertanyaan-pertanyaan di bawah ini, sebagai sebuah refleksi terhadap kehidupan kita:
  1. Apakah selama ini, aku sudah memikirkan bahwa setiap tindakan yang aku lakukan, dapat menjadi sebuah batu sandungan bagi saudara-saudaraku?
  2. Jikalau jawabannya: ya, apa yang sudah aku lakukan untuk tidak menjadi batu sandungan bagi orang-orang di sekitarku?
  3. Jikalau jawabannya: tidak, apa yang menjadi penghalang nomor satu, untuk aku tidak menjadi batu sandungan?
  4. Ada dua kontras, yang diberikan oleh Paulus. Pertama, mereka yang dianggap sudah memiliki hati nurani yang lebih baik. Dan di sisi yang lain, mereka yang masih memiliki hati nurani yang lemah. Jikalau aku melihat kepada diriku sendiri, di dalam golongan yang manakah diriku? Apakah golongan hati nurani yang sudah lebih baik, atau yang masih lemah?

Mari merenungkan secara serius renungan kita selama minggu ini. Ingatlah, pengetahuan, kasih, hati nurani, dan batu sandungan. KSS
MARI MEREFLEKSIKAN RENUNGAN YANG SUDAH DIBAHAS SELAMA SATU MINGGU. BIARLAH HIDUPMU SEMAKIN MENJADI BERKAT!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar