RENUNGAN SEPANJANG MINGGU
Senin, 30 Juni 2014
KEHENDAK ALLAH ATAS PERNIKAHAN (1 Korintus 7:1-16)
Hubungan seksual yang amoral memang dosa, tetapi sepasang suami istri halal melakukannya karena merupakan tanggung jawab keduanya untuk memenuhi kewajiban terhadap pasangan. Bukan hanya sebagai hak istimewa suami dan kewajiban istri saja, tetapi masing-masing pihak wajib menunjukkan kasih sayangnya secara fisik terhadap pasangannya, dengan maksud untuk menyenangkan atau memuaskan pasangannya (3-4). Relasi seksual merupakan berkat Allah, bukan beban apalagi kutuk. Lagi pula relasi seksual yang sehat dapat mencegah kehidupan seksual yang amoral. Absennya seks dalam sebuah pernikahan diperbolehkan untuk sementara waktu, tetapi hanya untuk alasan spiritual (5).
Lalu bagaimana bila orang tidak menikah? Walaupun orang yang menikah berharap seandainya tidak menikah atau orang yang tidak menikah berharap menikah, Paulus menegaskan bahwa keduanya merupakan karunia Allah (7-9). Begitu pun bila orang yang menikah merasa lebih beruntung dari orang yang tidak menikah atau yang tidak menikah merasa lebih beruntung dari orang yang menikah, harus dipahami bahwa masing-masing status merupakan karunia Allah.
Isu selanjutnya adalah perceraian. Sepasang suami istri Kristen tidak boleh bercerai karena alasan apa pun (12-13). Jika terjadi perpisahan, mereka tidak boleh menikah lagi dengan orang lain. Yang boleh dilakukan hanyalah mengadakan rekonsiliasi dengan pasangan mereka sebelumnya.
Nas ini memperlihatkan kepada kita bahwa Allah memandang serius suatu pernikahan, maka begitu pula orang beriman seharusnya. Pernikahan merupakan kesatuan antara seorang pria dan seorang wanita yang bersifat permanen, sehingga tak seorang pun yang berhak memutuskan kesatuan itu.
Baik menikah atau melajang menghadirkan manfaat dan berkat masing-masing. Baik menikah atau melajang, kita harus melayani Tuhan dan mencari kemuliaan-Nya.
TIDAK BOLEH ADA SEORANG PUN YANG MENYOMBONGKAN DIRI ATAS STATUSNYA KARENA SEMUANYA MERUPAKAN ANUGERAH ALLAH.Selasa, 01 Juli 2014
KEWAJIBAN DALAM PERNIKAHAN.(1Korintus 7:1-6)
Pergumulan orang tua, sekolah dan gereja menghadapi bahaya seks bebas di kalangan jemaat saat ini, haruslah disikapi dengan serius. Bahaya yang sama juga menjadi pergumulan Paulus ketika ia melayani jemaat Korintus. Kondisi ini merupakan sinyal bagi kita, orang Kristen di masa kini, bahwa bahaya percabulan selain telah melintasi zaman, dan melintasi usia, juga mengancam keharmonisan keluarga atau pasangan Kristen. Dan harus disadari bahwa orang Kristen tidak memiliki kekebalan terhadap godaannya.
Itu sebabnya Paulus begitu memperhatikan perihal ini: pertama, ia menasihatkan orang yang tidak menikah baik pria atau wanita, kalau merasa tidak dapat tahan terhadap godaan tersebut, sebaiknya ia menikah (ayat 2). Kedua, kepada para duda dan janda, bila tidak tahan, lebih baik menikah (ayat 8-9). Namun, tidak berarti orang yang sudah menikah aman dari gangguan itu. Ada godaan besar melanda pasangan Kristen yang salah mengerti makna seks dalam pernikahan. Ada anggapan bahwa seks itu dosa, sehingga hubungan seks suami isteri pun juga dosa. Akibatnya baik pihak suami maupun isteri saling menahan diri. Hati-hati, sebab Iblis memanfaatkan kesempatan ini untuk menjatuhkan salah satu atau keduanya ke dalam dosa percabulan (ayat 5b). Untuk mereka, Paulus menasihatkan agar setiap pihak menyadari kewajibannya (ayat 3-4), dan hanya dengan kesepakatan bersama untuk alasan tertentu, dan untuk waktu terbatas mereka boleh tidak berhubungan (ayat 5a).
Nasihat Paulus ini memberikan pelajaran penting, yaitu bahwa pernikahan Kristen menjadi kudus bukan karena tidak berhubungan, bukan karena masing-masing pihak menjalankan kewajiban, tetapi karena kasih. Sehingga setiap pasangan Kristen mengerti bahwa pernikahan mereka diberkati Tuhan.
SETIA PADA KEWAJIBAN DALAM PERNIKAHAN, MENOLONG KITA DAN PASANGAN KITA HIDUP KUDUS, TERHINDAR DARI DOSA PERCABULAN.Rabu, 02 Juli 2014
KUDUSNYA PERNIKAHAN.(1Korintus 7:7-16)
Paulus kembali menegaskan kepada jemaat Korintus bahwa pernikahan itu kudus. Karena kekudusan sebuah perkawinan itulah maka perceraian tidak diperbolehkan, dengan alasan apa pun (ayat 10- 11). Atau bila perceraian itu telah terjadi, kepada mereka yang sudah terlanjur bercerai, Paulus minta agar masing-masing pihak tidak menikah lagi bahkan dianjurkan untuk hidup berdamai dengan mantan pasangannya.
Kepada mereka yang memiliki pasangan yang tidak seiman, Paulus mengajukan alasan teologis mengapa pernikahan harus dipertahankan. Harus diingat terlebih dahulu, bahwa ketidakseimanan pasangan yang dimaksudkan oleh Paulus adalah keduanya belum menjadi Kristen ketika menikah, lalu pada suatu waktu, salah seorang di antara mereka menjadi Kristen.
Alasan teologis itu adalah bahwa pihak yang beriman akan menguduskan pasangannya yang tidak seiman (ayat 14). Oleh karena itu dengan mempertahankan pernikahan itu, siapa tahu pihak yang tidak beriman itu menjadi beriman karena kesetiaan dan kasih dan doa- doa pasangannya (ayat 16). Tetapi hal-hal ini haruslah terjadi bukan dalam tekanan atau paksaan. Maksudnya, kalau pihak yang tidak seiman menuntut perceraian, maka pasangan yang beriman tidak terikat untuk mempertahankannya (ayat 15).
Di zaman modern ini, kita diperhadapkan pada dunia yang dengan mudahnya menemukan orang kawin - cerai - kawin lagi, orang-orang Kristen sebagai anak-anak Tuhan dipanggil untuk menjadi model pernikahan kudus. Justru Tuhan bekerja melalui pernikahan anak- anak-Nya untuk menyelamatkan pasangannya yang belum percaya. Tetapi hati-hati! Perikop ini bukan untuk dijadikan dalih untuk menikah dengan orang yang tidak seiman.
BERAPA PERNIKAHAN BISA DISELAMATKAN DARI KEHANCURAN DAN PERCERAIAN BILA ANAK-ANAK TUHAN MENUNJUKKAN KETELADANAN PERNIKAHAN YANG KUDUS?Kamis, 03 Juli 2014
CERAI! BOLEHKAH? (1Korintus 7:1-5)
Apa jalan keluar terbaik bagi pasangan suami isteri yang konfliknya sudah memuncak? Matius 19:6, "... mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia." (Mat 19:6)
Kalau begitu tidak perlu menikah, hidup bersama saja tanpa ikatan perkawinan, tanpa komitmen. Gaya hidup seperti ini tidak sesuai firman Tuhan; di mata Tuhan adalah dosa. Paulus berkata, daripada jatuh dalam dosa, lebih baik menikah (ayat 1Kor 7:2).
Ingatkah dulu waktu Anda belum punya pacar, setiap hari khawatir kapan mendapat pacar? Waktu Anda sedang pacaran, Anda selalu menantikan kabar dari dia dan hati Anda selalu berbunga-bunga; Anda selalu menantikan saat bertemu si dia.
Lalu setelah menikah, masakan Anda berkata: "Ia sudah terlalu menyakiti hatiku. Aku tak tahan lagi hidup bersama dia. Aku mau cerai saja!"
Siapa yang berhak memutuskan ikatan perkawinan? Suami? Atau isteri? Tidak ada! Tak ada satu pun manusia yang berhak memutuskan ikatan perjanjian perkawinan.
Paulus dalam 1Kor 7:5 dengan tegas menulis, "Janganlah kamu saling menjauhi, ..." Tentunya hal ini berlaku untuk pasangan yang diberkati di gereja yaitu bagi suami dan isteri yang sudah mengucapkan janji pernikahan di hadapan jemaat.
Pernikahan kudus adalah ikatan perjanjian (covenant) seperti perjanjian Allah dengan umat-Nya. Salah satu penyataan Allah kepada umat Israel adalah "Janganlah takut, sebab Aku telah menebus engkau, Aku telah memanggil engkau dengan namamu, engkau ini kepunyaan-Ku." (Yes 43:1)
Hanya karena anugerah-Nya pasangan suami isteri dapat saling memberi diri, saling menerima apa adanya, saling mengampuni dan saling menguduskan. Kalau Anda sedang mengalami konflik dengan pasangan hidup Anda, berdoalah! Mintalah kasih setia Allah memenuhi kembali hati Anda. Ingatlah Yesus sudah memberi diri-Nya untuk Anda dan pasangan Anda. Anda dan dia adalah satu di dalam Tuhan.
HAI PASUTRI KRISTEN, JANGANLAH SEDETIKPUN BERPIKIR UNTUK CERAI. TIDAK ADA KATA “CERAI” DALAM KAMUS PERNIKAHAN KRISTEN!Jumat, 04 Juli 2014
KEAJAIBAN HIDUP PERNIKAHAN (Matius 19:1-8)
Ketika Pendeta Howard Sugden memimpin upacara pernikahan kami, ia menekankan bahwa kami sedang terlibat dalam sebuah mukjizat. Kami memercayainya, tetapi kami tidak memahami seberapa besar mukjizat yang diperlukan untuk mengikat dua orang, apalagi menjadikan keduanya satu.
Setelah 20 tahun, saya sadar bahwa kehidupan pernikahan, bukan upacara pernikahan, adalah mukjizat sejati. Setiap orang bisa menikah, tetapi hanya Allah yang bisa menciptakan sebuah kehidupan pernikahan yang sejati.
Sebuah definisi menikah adalah “membangun keterikatan dengan setia atau keras kepala”. Bagi beberapa pasangan, istilah “keras kepala” lebih tepat menggambarkan keterikatan mereka daripada istilah “setia”.
Allah memiliki definisi yang jauh lebih baik bagi kita mengenai pernikahan daripada mendefinisikannya sebagai keterikatan yang terus-menerus diusahakan agar tidak terjadi perceraian. Kesatuan dalam pernikahan itu begitu kuat sehingga kita menjadi “satu daging”. Allah menginginkan hidup pernikahan berlangsung seperti ketika Dia menciptakan Hawa dari Adam pertama kali (Kejadian 2:21-24). Itulah penjelasan Yesus kepada orang-orang Farisi ketika mereka bertanya kepada-Nya, “Apakah diperbolehkan orang menceraikan istrinya dengan alasan apa saja?” (Matius 19:3). Yesus menjawab, “Sebab itu laki-laki akan … bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging” (ayat 5).
Menyerahkan hidup Anda kepada orang lain adalah tindakan iman yang benar-benar memercayai mukjizat. Puji syukur, Allah campur tangan dalam menciptakan kehidupan pernikahan. (JAL)
KEHIDUPAN PERNIKAHAN YANG BAHAGIA ADALAH BERSATUNYA DUA PENGAMPUN YANG BAIKSabtu, 05 Juli 2014
HUKUM PERNIKAHAN (Matius 19:1-12)
Peliknya masalah pernikahan membuat banyak pasangan merasa hidup membujang itu lebih baik. Banyak alasan dikemukakan: ketidakcocokan, sifat buruk pasangan, pasangan yang tidak bertanggung jawab, perselingkuhan, perlakuan kasar, gairah cinta yang sudah padam. Berada dalam situasi pernikahan yang buruk sering memicu pertanyaan: Dalam keadaan bagaimanakah Tuhan mengizinkan perceraian?
Ketika orang Farisi bertanya kepada Yesus soal perceraian, mereka bukan benar-benar sedang prihatin atas persoalan rumah tangga. Mereka hanya ingin mencobai Yesus (ay. 3). Yesus menjawab persoalan ini dengan mengingatkan mereka bahwa pernikahan adalah ketetapan Allah (ay. 56; bandingkan Kejadian 2:24). Hukum Musa diberikan karena hati umat Tuhan yang keras, tidak mau tunduk pada apa yang sudah ditetapkan Tuhan (ay. 8). Tentang hidup tidak menikah, Tuhan kembali menjawab dengan menunjukkan apa yang sudah ditetapkan Tuhan dan apa yang menjadi kemauan hati manusia (ay. 12).
Tuhan memiliki maksud terbaik ketika Dia menetapkan pernikahan, hidup membujang, maupun penyelesaian masalah rumah tangga. Bukankah Dia Allah yang Mahatahu dan Mahabaik? Kita dapat memilih, apakah akan mengikuti ketetapan ini atau melanggarnya. Sebelum memutuskan untuk menikah atau tetap melajang, renungkanlah dengan sungguh-sungguh: Apakah tindakan yang akan saya ambil sesuai dengan maksud Tuhan atas hidup saya? Adakah kecenderungan hati saya ini bertujuan memuaskan diri sendiri atau menyenangkan Tuhan? (HE).
LEMBUTKAN HATI KETIKA MEMBACA KETETAPAN-NYA, AGAR KITA DAPAT MELIHAT MAKSUD TUHAN YANG CERLANG.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar