RENUNGAN SEPANJANG MINGGU
Senin, 16 Juni 2014
TINDAKAN YANG BERSESUAIAN DENGAN IDENTITAS KRISTEN (1 Korintus 6:1-3)
Perkataan Paulus dalam perikop ini dimulai dengan sebuah seruan. Meski tak kelihatan dalam terjemahan bebas à la Indonesia, bahasa asli menunjukkan kekecewaan Paulus dalam bentuk seruan: how dare you!-berani-beraninya kamu! Sebuah “seruan” menekankan adanya sebuah jarak antara “yang berseru” dan “objek seruan”. “Yang berseru” terlebih dahulu mengamati sebuah objek. Hasil dari pengamatan tersebut adalah sebuah seruan. Hal ini berarti: Paulus sebagai “yang berseru” mengamati jemaat Korintus dan apa yang mereka lakukan. Hasil pengamatan: negatif-Paulus tidak setuju dengan apa yang dilakukan oleh jemaat Korintus, yakni membawa perselisihan internal kepada pengadilan yang dipimpin oleh orang-orang yang tidak percaya (hoi adikoi/the unrighteous/the unjust). Penekanan masalah bukan pada jemaat Korintus yang “mencari keadilan”. Namun, masalah ada pada “siapa yang mengadili” dan “siapa yang diadili”.
Mari kita memahami secara lebih jelas persoalan yang dimunculkan oleh Paulus: pertama, “yang mengadili” adalah orang yang tak percaya. “Yang diadili” adalah orang yang percaya. Dengan melihat pada kontras ini, kita dapat mengerti, dengan identitas yang dimiliki oleh jemaat Korintus, tak seharusnya mereka membawa perselisihan kepada orang-orang yang seharusnya menjadi objek pengadilan mereka. Kedua, perkara yang mereka ajukan adalah perkara kecil (tak berarti/smallest matters). Paulus mempertanyakan tindakan jemaat Korintus: mengapa engkau mengajukan perkara yang kecil itu kepada mereka yang belum percaya? Kini, mereka yang belum percaya tak hanya mengetahui persoalan inses dalam jemaat Korintus, tetapi juga persoalan-persoalan kecil seperti perselisihan. Jemaat Korintus kehilangan kesaksian (batu sandungan) di tempat mereka berada.
Melalui renungan ini, mari belajar untuk mengingat kembali identitas kita: orang percaya/anak Tuhan. Karena, tindakan kita menjadi sebuah kesaksian yang selalu diperhatikan orang-orang banyak. (KSS)
TIGA SINDIRAN PAULUS. (1 Korintus 6:4-6)
Ayat 4-6 menyiratkan kembali akan kegelisahan Paulus. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, mengandung nuansa sindiran. Dan itu pula yang dikatakan oleh Paulus: aku hendak memalukan kamu. Pernyataan ini muncul setelah pernyataan yang bernuansa sindiran pula pada ayat keempat. Meski ada beberapa terjemahan yang berbeda, namun permenungan ini menuliskan ayat keempat sebagai berikut: “Jadi, jika engkau mengurus perkara-perkara biasa, tunjuklah (appoint) seseorang yang bahkan tak diperhitungkan (the despised) di dalam gereja!” Karena itu, dalam ayat 4-6, mari belajar tiga sindiran yang diberikan oleh Paulus:
- Tunjuklah orang yang bahkan tak diperhitungkan. Tatkala jemaat Korintus lebih memilih pengadilan dari orang-orang yang tak percaya, Paulus menekankan: lebih baik orang percaya yang tak diperhitungkan (the despised). Hal ini perlu dilihat dalam garis besar pemikiran Paulus, yakni kesaksian hidup dari jemaat Korintus.
- Tidak adakah seseorang (is it possible/mungkinkah) yang berhikmat? Kali ini, ada peningkatan sindiran. Setelah mengusulkan “a”, Paulus meneruskan pada pernyataan yang mempertanyakan hikmat pada jemaat Korintus.
- Masalah persaudaraan (brotherhood). Sindiran ketiga dari Paulus adalah: perselisihan bukanlah hal yang baik. Lebih lagi, perselisihan yang melibatkan mereka yang bersaudara. Padahal, mereka yang bersaudara, seharusnya dapat saling menolong satu sama lain. Namun, kenyataannya, jemaat Korintus tak hanya saling menjatuhkan, lewat perselisihan, mereka juga membawa persoalan itu, hingga diketahui oleh orang-orang yang tidak percaya.
Tiga sindiran Paulus, hendaknya dapat menjadi sebuah bahan permenungan lebih lanjut bagi kita. Setiap tindakan yang kita lakukan dalam konteks komunitas Kristen-perlu dilihat dalam batasan-batasan tertentu. Mari menguji dengan tiga sindiran Paulus. Apakah sesuatu yang kita lakukan jikalau diuji dengan tiga sindiran Paulus menimbulkan kegelisahan dalam diri? Jikalau jawabannya adalah “ya”, mari mulai mempertimbangkan kembali apa yang kita lakukan. (KSS)
Rabu, 18 Juni 2014
KEADILAN DEMI KEMULIAAN TUHAN (1 Korintus 6:7-11)
Penekanan pada ayat 7-11 ada pada sesuatu yang sifatnya spiritual. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh jemaat Korintus mencerminkan adanya “keambrukan rohani”. Karena itu, Paulus menekankan akan dua hal sebagai sebuah peringatan terakhir pada perikop ini, kepada jemaat Korintus. Dua peringatan itu adalah:
- Adanya perkara dalam jemaat Korintus, merupakan sebuah kekalahan. Kekalahan telah terjadi, bahkan sebelum perkara perselisihan tersebut dibawa ke pengadilan. Karena itu, Paulus mengingatkan mereka. Meski ada yang “menang” dalam pengadilan, mereka sebenarnya “kalah”-ya, mereka kalah dalam arti yang sesungguhnya.
- Paulus mengingatkan akan identitas dari jemaat Korintus. Yakni, mereka sudah disucikan, dikuduskan, dan dibenarkan. Sebagai orang yang memiliki identitas Kristen, mereka harus menunjukkan tindakan yang bersesuaian pula dengan identitas mereka.
Dengan dua peringatan ini, pesan tersirat dapat dituliskan: keadilan adalah sesuatu yang dilakukan dengan berlandaskan pada tujuan untuk memuliakan Tuhan. Kerangka “memuliakan Tuhan” adalah sesuatu yang perlu diperhatikan, meski keadilan adalah sesuatu yang perlu diperjuangkan. Yang terutama, adalah memuliakan Tuhan.
Karena itu, ada dua hal yang perlu diperhatikan:
- Keadilan berbanding lurus dengan keadaan rohani. Keadaan rohani yang tidak baik, akan mempengaruhi bagaimana seseorang menilai akan sesuatu.
- Keadilan hendaknya diperjuangkan dengan sebuah tujuan untuk memuliakan Tuhan.
Melalui renungan hari ini, mari belajar sama-sama untuk melihat keterkaitan antara kehidupan rohani dan tindakan-tindakan yang kita lakukan setiap saat. Tindakan kita mencerminkan apa yang sedang terjadi secara rohani dalam diri kita, termasuk bagaimana kita menerapkan keadilan dalam komunitas kita. (KSS)
Kamis, 19 Juni 2014
PENGADILAN DUNIA DAN PENGADILAN KRISTEN??? (Roma 13:1-14)
Meski dalam 1 Korintus 6:1-11, Paulus menekankan pentingnya penyelesaian secara internal, bukan berarti Paulus meniadakan pengadilan yang ada di dunia ini. Tujuan Paulus dalam Korintus, agar jemaat Korintus menjaga kesaksian hidup mereka. Dalam perikop hari ini, Paulus dengan jelas mengatakan, bahwa kita harus tunduk pada otoritas (pemerintahan) di tempat kita berada. Hal ini menjadi sesuatu yang menarik, karena saat Paulus menuliskan surat kepada jemaat di Roma, Roma sedang dipimpin oleh seorang Kaisar. Kaisar yang menginginkan status “tuhan” pada dirinya. Ada empat alasan, mengapa kita perlu tunduk pada pemerintahan (ataupun pengadilan) di tempat kita berada. Keempat alasan yang diberikan oleh Paulus ini, hendaknya dapat menjadi bahan perenungan kita:
- Melawan pemerintahan, berarti melawan Allah (1-4). Karena, segala bentuk pemerintahan yang ada, ada atas ijin Allah.
- Karena hati nurani (conscience) (5-7). Sebagai orang Kristen, kita perlu taat kepada hukum, karena kita punya hati nurani yang peka dan mendorong kita agar selalu taat kepada Tuhan. Ketaatan kepada Tuhan ditunjukkan dalam bentuk ketaatan kepada hukum.
- Karena kasih (for love’s sake) (8-10). Kita taat kepada hukum dengan berlandaskan akan kasih. Mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama adalah hukum terutama dalam hidup kita. Namun, manifestasi konkret dari hal tersebut adalah ketaatan kepada pemerintahan
- Karena Yesus (11-14). Alasan kita untuk taat pada hukum menjadi sebuah wujud nyata devosi/pengabdian kita pada Yesus. Di sini Paulus berbicara dalam konteks kedatangan Yesus yang kedua kalinya. Kita hidup dalam masa penantian akan kedatangan itu. Karena itu, ketaatan dan kesetiaan adalah sesuatu yang penting.
Demikian adanya empat alasan yang diberikan oleh Paulus: mengapa kita perlu tunduk kepada otoritas. Empat hal ini, kiranya menjadi sebuah bahan pertimbangan dalam kita menjalani kehidupan sebagai tidak hanya orang Kristen, tetapi juga warga negara. (KSS)
Jumat, 20 Juni 2014
MENGAPA KAMU TIDAK LEBIH SUKA MENDERITA KETIDAKADILAN? (1 Korintus 6:7)
Pemikiran Paulus tertulis dengan indah sebagai berikut: “Why not rather be wronged? Why not rather be defrauded?” Intinya adalah: mengapa kamu lebih memilih untuk melakukan ketidakadilan, daripada mengalami ketidakadilan. Pemikiran Paulus ini, juga menjadi sebuah pergumulan filosofis à la Socrates. Dalam percakapan dengan Callicles pada Gorgias, Socrates menekankan hal yang sama dengan Paulus: kita perlu lebih memikirkan bagaimana menghindari melakukan ketidakadilan dibandingkan dengan menderita ketidakadilan.
Kesimpulan Socrates berawal dari pemikiran Callicles: “Yang superior” berhak melakukan apapun terhadap “yang inferior”. Namun, tampaknya Callicles mengalami sebuah kebingungan dalam memberikan definisi yang tepat: apa itu superior? Socrates, seperti biasa mengajukan pertanyaan yang berujung pada aporia (jalan buntu) pada pemikiran Callicles. Socrates menjelaskan bahwa sesuatu yang superior, seharusnya bisa memiliki pengendalian diri yang baik. Dan, ia haruslah saleh, berani dan baik. Jadi, dengan kriteria “superior” seperti ini, tidak mungkin seseorang yang superior, dengan sesuka hati melakukan apapun kepada yang inferior. Dengan berlandaskan pada percakapan ini pula, Socrates merumuskan: kita perlu lebih memikirkan bagaimana menghindari melakukan ketidakadilan dibandingkan dengan menderita ketidakadilan.
Dalam kehidupan kita sebagai manusia yang di satu sisi, memiliki natur dosa, dan di sisi yang lain, terus-menerus mengalami penyucian dalam anugerah Tuhan, kita perlu melatih diri kita untuk melakukan keadilan. Melatih diri tidak hanya berkaitan dengan melakukan keadilan semata, tetapi juga menghindari untuk melakukan ketidakadilan. Ada kalanya, orang-orang pada umumnya berpikir: melakukan ketidakadilan lebih alami terjadi. Meski ada asumsi seperti di atas, sebagai orang yang sudah disucikan, dikuduskan, dan dibenarkan, kita perlu mengutamakan keadilan dan menghindari untuk melakukan ketidakadilan. Sebuah kalimat yang indah dari Paulus, saya tuliskan dalam bahasa Socrates: “We have to take greater care to avoid doing wrong that we do to avoid suffering wrong.” (KSS)
Sabtu, 21 Juni 2014
SEBUAH PERMENUNGAN REFLEKTIF:
KETAATAN DAN KESETIAAN MELAKUKAN KEHENDAK TUHAN (1 Korintus 6:1-11)
Sepanjang minggu ini, fokus pembelajaran adalah pada apa yang dikatakan oleh Paulus dalam 1 Korintus 6:1-11. Fokusnya ada pada identitas diri sebagai orang Kristen, kesaksian hidup, dan keterkaitan kita dengan orang lain di dalam sebuah komunitas Kristen. Tatkala pembelajaran ini menjadi sesuatu yang baru, mari kita belajar untuk memikirkan dua kata kunci :
- Keinginan: keinginan untuk belajar akan Firman Tuhan secara lebih serius.
- Ketaatan: kemauan untuk melakukan apa yang Tuhan inginkan melalui Firman Tuhan.
Namun, jikalau pembelajaran minggu ini merupakan sesuatu yang sudah sering kita dengar, mari kita belajar untuk memikirkan dengan dua kata kunci:
- Kesetiaan: kata “kesetiaan” menuntut adanya sebuah ketekunan. Ketekunan untuk melakukan apa yang Tuhan mau.
- Ketaatan: kata ini tak akan dapat hilang dari kosa kata kehidupan orang Kristen. Kesetiaan membutuhkan ketaatan untuk setia. Ini adalah sesuatu yang menjadi sebuah perjuangan.
Dengan tiga kata kunci di atas, keinginan untuk belajar, ketaatan, dan kesetiaan, mari kita merenungkan apa yang Tuhan mau melalui perikop 1 Korintus 6:1-11 dengan tiga pertanyaan reflektif berikut:
- Apakah saya membiarkan hati saya digerakkan oleh Firman Tuhan?
- Apakah saya memiliki kerinduan untuk melakukan apa yang dikehendaki Tuhan melalui Firman-Nya.
- Apakah saya sudah menjadi kesaksian yang baik bagi komunitas saya, melalui apa yang saya lakukan?
Melalui tiga pertanyaan reflektif di atas, kita diharapkan untuk bertumbuh. Bertumbuh melalui pengenalan yang benar akan Tuhan. (KSS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar