RENUNGAN SEPANJANG MINGGU
SENIN, 2 DESEMBER 2013
Dampak bertemu Tuhan (Roma 15:1-7)
Tidak selalu mudah bagi kita untuk menemukan realisasi makna “kerukunan”, bahkan dalam hidup berjemaat. Padahal gereja yang sehat adalah gereja yang jemaatnya hidup dalam kerukunan, yaitu situasi saat seluruh anggota bersatu hati dan bersuara memuliakan Tuhan (6).
Paulus melanjutkan pengajarannya kepada jemaat di Roma mengenai kehidupan berjemaat. Sebelumnya ia telah mengingatkan jemaat di Roma untuk tidak saling menghakimi (14:1-13a) dan tidak menjadi batu sandungan bagi sesama (14:13b-23). Kini Paulus meminta jemaat Roma untuk aktif menciptakan kerukunan. Dasar dari pengajaran dan tuntutan kerukunan ini adalah hidup Kristus sendiri (15:3, 7).
Tindakan aktif pertama yang dapat dilakukan adalah menanggung beban sesama kita (1). Pepatah mengatakan, “Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.” Golongan kuat kemungkinan besar adalah kaum berada, sebaliknya golongan lemah adalah kaum miskin. Saling menolong dan menanggung beban bahkan akan meruntuhkan batas-batas di antara umat manusia yang saling bermusuhan. Kedua, orientasi hidup orang Kristen seharusnya tidak berpusat pada apa yang menguntungkan dirinya sendiri, tetapi apa yang membawa kebaikan dan membangun orang lain (2). Semakin dewasa iman kita, semakin kita memikirkan kebaikan dan kemajuan orang lain yang ada di sekitar kita. Ketiga, kerukunan terjadi pada saat kita merelakan diri menerima orang lain dengan kelebihan dan kekurangannya (7).
Kristus adalah sumber iman Kristen yang memberikan contoh bahwa hidup-Nya bukanlah untuk menyenangkan diri-Nya sendiri. Kristus bahkan menerima cercaan dan hinaan demi keselamatan kita semua (3). Ingatlah, Kristus menerima kita bukan karena kita hebat dan memiliki kelebihan, tetapi justru pada saat kita najis oleh dosa.
Doa: Tuhan, pakailah aku menjadi alat-Mu dalam menciptakan kerukunan di tengah-tengah keluarga, gereja dan lingkungan sekitarku.
SELASA, 3 DESEMBER 2013
Karena Kristus telah menerima kita (Roma 15:8-13)
Dalam persekutuan Kristen, kasih menjiwai hubungan antarpribadi. Kasih itulah yang merekatkan persekutuan di antara anak-anak Tuhan. Setiap anggota persekutuan harus saling menerima sehingga bukan hanya tidak menjadi batu sandungan bagi yang berhati nurani lemah (14:1), sebaliknya justru setiap orang menjadi kesenangan yang membangun orang lain (15:2).
Dasar untuk saling mengasihi di antara umat Tuhan adalah Kristus. Dialah yang telah mempersekutukan baik orang-orang bersunat (Yahudi) maupun bangsa-bangsa (nonYahudi) ke dalam diri-Nya. Kristus menerima orang Yahudi dengan jalan menggenapkan janji-janji Allah kepada nenek moyang mereka, yaitu menjadikan mereka umat Allah, milik pribadi-Nya (Kej 17:7,8). Di dalam Kristus, yakni melalui iman kepada-Nya, orang Yahudi dibenarkan dan menjadi milik Allah (lih. Rm 3:29-30).
Kristus juga telah memungkinkan bangsa-bangsa nonYahudi memuliakan Allah karena rahmat-Nya (Rm 15:9-12). Ini merupakan salah satu penggenapan janji Allah kepada nenek moyang orang Yahudi bahwa keturunan mereka akan menjadi berkat bagi bangsa-bangsa lain (Kej 12:2-3; 22:18; 26:4; 28:14). Di dalam Kristus, bangsa-bangsa lain beroleh keselamatan sama seperti yang diterima oleh orang Yahudi, yaitu melalui iman (Rm 15:12).
Tidak ada dasar untuk menolak dan membeda-bedakan sesama anak Tuhan dengan memakai kriteria suku, bahasa, budaya, status sosial, atau apa pun. Kristus telah menerima setiap kita yang menyatakan iman kepada-Nya tanpa syarat apa-apa. Oleh karena itu, kita juga harus saling menerima dan justru menjadikan keberbedaan itu kekayaan persekutuan umat Tuhan yang sekaligus menjadi kesaksian bagi mereka yang masih ada di luar.
Renungkan: Saling menerima bukan berarti kompromi dengan dosa. Menerima sesama berarti mengakui karya Kristus sudah terjadi atas diri sesama kita.
RABU, 4 DESEMBER 2013
ALLELON (Roma 15:1-13)
Dietrich Bonhoeffer memberi peringatan yang perlu kita dengar: “Orang yang tidak bisa sendiri, berhati-hatilah pada komunitas .... Orang yang tidak berkomunitas, berhati-hatilah dengan kesendirian.” Dalam tarikan ke dua arah ini, banyak orang memandang waktu sendiri bersama Tuhan sebagai hal esensial, sedangkan berkomunitas sebagai hal opsional. Benarkah Alkitab mengajarkan demikian?
Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, Paulus menunjukkan betapa pentingnya hidup berkomunitas bagi orang percaya. Orang yang sudah memiliki hidup baru dalam Kristus, tidak boleh mencari kesenangan sendiri (ayat 1-3), namun harus saling rukun (ayat 5), saling menerima (ayat 7), dan saling menasihati (14). Hal ini memuliakan Tuhan (ayat 7). Kata saling atau satu sama lain, adalah terjemahan kata Yunani: allelon. Allelon menyatakan pengakuan akan keterbatasan kita untuk bisa bertumbuh sendiri, dan kesadaran akan peran yang perlu kita penuhi dalam pertumbuhan saudara seiman. Allelon mengandung makna memberi dan menerima dalam komunitas sebagai bagian esensial dari perjalanan hidup rohani pribadi kita.
Manakah kecenderungan Anda: bersendiri atau berkomunitas? Bagaimana Anda memandang komunitas: esensial atau opsional? Ketika seseorang mulai meninggalkan persekutuan orang percaya, biasanya ia juga mulai meninggalkan disiplin-disiplin rohani lainnya. Mari taati firman Tuhan dengan memberi diri untuk saling mendukung dan membangun dalam komunitas keluarga Tuhan.—JOO
MARILAH KITA SALING MEMPERHATIKAN SUPAYA KITA SALING MENDORONG DALAM KASIH DAN DALAM PERBUATAN BAIK (Ibrani 10:24)
KAMIS, 5 DESEMBER 2013
Kuat dan Lemah (Roma 15:1-13)
Paulus meminta kita untuk meneladani Yesus dalam hal lebih memperhatikan sesama dibandingkan memperhatikan diri sendiri (3). Permintaan Paulus ini berkenaan dengan kewajiban kita sebagai orang yang dianggap kuat (1). Kita diminta untuk menanggung kelemahan orang yang lemah dengan cara memperhatikan mereka dan mendukung mereka agar tidak jatuh ke dalam pencobaan. Kita yang kuat diharuskan untuk memperhatikan dan menerima mereka yang lemah agar iman mereka dibangun.
Paulus menggunakan istilah "kuat" dan "lemah" untuk menggambarkan keadaan rohani orang percaya. Istilah "kuat" menunjuk pada iman orang yang telah dewasa dalam Kristus sehingga peka terhadap masalah orang lain. Orang yang "kuat" adalah orang yang memahami kebebasan rohani mereka di dalam Kristus dan tidak mau lagi diperbudak aturan hukum Taurat. Mereka yang kuat adalah mereka yang peka pada hati nurani yang telah diterangi oleh firman Allah, lebih dari ketaatan mereka akan ritual dan tradisi hukum Taurat.
Istilah "lemah" mengacu pada orang percaya yang imannya belum dewasa, yaitu yang masih percaya pada ritual dan tradisi hukum Taurat. Mereka merasa berkewajiban untuk mematuhi aturan dan tradisi hukum Taurat tentang apa yang boleh mereka makan dan minum dan kapan mereka harus beribadah. Mereka yang lemah iman berkeyakinan bahwa orang Kristen yang dewasa rohani menghidupi kekristenannya dengan cara mengikuti aturan ketat dan seringkali menghakimi sesama yang tidak sejalan dengan pandangan mereka.
Nasihat ini mengingatkan kita yang merasa kuat iman agar peka terhadap pergumulan saudara seiman kita yang lemah. Kita harus membantu mereka, misalnya dengan cara mendampingi atau mendoakan ketika mereka jatuh atau dalam pencobaan. Hendaknya kita menjadi panutan, bukan celaan bagi mereka yang lemah! Tentu kita berkerinduan agar orang yang lemah iman suatu saat menjadi kuat juga. Maka marilah kita belajar peka serta memberi perhatian dan dukungan kepada saudara-saudara seiman kita.
JUMAT, 6 DESEMBER 2013
Meniru Kristus, Memuliakan Allah (Roma 15:1-13)
Adakah praktik dan tindakan dalam gereja Anda yang terkesan aneh untuk orang kebanyakan? Adakah sikap dan gaya hidup Anda yang bisa dinilai tidak lazim? Jika tidak ada, jangan-jangan gereja Anda dan hidup Anda belum sungguh memberlakukan sikap hidup Kristus!
Sedemikian pentingnya menerapkan sikap dan perilaku Kristus, sampai di tengah nasihatnya Paulus menaikkan doa kepada Allah (ayat 5-6). Tidak ada hal lebih penting untuk gereja praktikkan daripada meniru sikap Kristus yang beranugerah, yang mempersatukan jemaat dan mempertajam daya kejut kehadiran Kristen di tengah dunia. Jika kita tidak memiliki keberanian untuk radikal dan revolusioner ala Yesus Kristus, kita tidak memiliki daya kejut itu! Karena nasihatnya tidak mudah untuk dilakukan, maka Paulus menyebut dua sifat Allah: sumber ketekunan dan penghiburan!
Meniru Kristus dalam sikap dan perilaku bergereja membawa dampak radikal. Namun mengusahakan secara konsis-ten dan benar bukan hal mudah. Itu sebabnya Paulus berdoa kepada Allah yang tekun dan menghibur. Jika kita senada dengan kasih Allah dan pengorbanan Kristus dalam inkarnasi serta penderitaan-Nya demi menghasilkan perubahan dalam hidup manusia, maka akan terjadi hal yang radikal. Agar kita peka, mari renungkan: kehidupan Kristen dan kondisi gereja macam apa yang tidak menerapkan sikap Yesus? Bila gereja tidak peduli pada kaum terpinggir; bila keanggotaan gereja atau kelompok persekutuan kita homogen (ras, tingkat pendidikan, kelompok ekonomi, dlsb.); bila pelayanan dan tata krama gereja disesuaikan dengan zona nyaman orang yang menganggap diri paling tahu dan rohani ketimbang oleh kebutuhan orang yang sering diabaikan; inilah ciri gereja yang tidak seradikal sikap Yesus yang limpah anugerah!
Yesus mengurbankan kepentingan diri-Nya, merangkul yang lemah, terkulai, dan tak berdaya supaya kemuliaan Allah meraih mereka dan menciptakan umat yang hidup-mati hanya untuk meniru Ia dan memuliakan Allah saja!
SABTU 7 DESEMBER 2013
Allah Sumber Pengharapan (Roma 15:13)
Semua orang sangat memerlukan pengharapan. Apalagi di zaman yang sedang sulit seperti sekarang ini. Itu sebabnya dalam Alkitab pengharapan disandingkan dengan iman dan kasih sebagai hal yang utama dalam kehidupan orang Kristen. Ini yang oleh para teolog disebut sebagai kebajikan teologis, yaitu kebajikan tertinggi yang harus dicapai dan dipupuk dalam kehidupan orang percaya. Kebajikan teologis mengatur dan mengatasi kebajikan utama seperti kesabaran, keadilan, keberanian dan penguasaan diri. Jadi pengharapan adalah kebajikan yang mulia dan penting; Bagaimana kita bisa memilikinya? Terutama di zaman di mana hampir tidak mungkin orang berpengharapan?
Jawaban berikut mungkin akan sangat mengejutkan kita. Justru di dalam zaman yang sangat sulit, pengharapan boleh tumbuh dengan subur dan kokoh. Ambil contoh Abraham. Dalam sorotan Paulus, justru ketika tidak mungkin lagi untuk berharap mendapatkan anak, Abraham berharap; Berharap yang melawan kemungkinan untuk berharap (Rm 4:18). Di tengah-tengah menanggung derita aniaya, justru orang percaya menjadi tekun, teruji dan tumbuh dalam pengharapan (Rm 5:3-5). Surat rasul yang dikenali bertemakan pengharapan, justru ditujukan oleh Petrus kepada jemaat-jemaat yang sedang tersebar karena penganiayaan. Tidak heran pula bahwa dari era kancah peperangan yang melibatkan seluruh dunia (PD II), muncul juga seorang teolog besar (Moltmann) yang dikenal dengan teologi pengharapannya.
Bagaimana persisnya proses kejadiannya sampai kesulitan besar justru menjadi lahan bagi tumbuhnya pengharapan? Kesulitan hidup berarti tumbangnya semua pegangan dan andalan da-lam hidup. Dan ini memaksa akar-akar hidup kita masuk dalam mencari sumber pengharapan sejati dan terpercaya, yaitu Allah sendiri. Inilah alasan mengapa kepada jemaat yang berada di sarang perancang aniaya (Roma), Paulus mengirimkan berkat demikian indah: "Semoga Allah, sumber pengharapan, memenuhi kamu dengan segala sukacita dan damai sejahtera dalam iman kamu, supaya oleh kekuatan Roh Kudus kamu berlimpah-limpah dalam pengharapan."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar