Renungan Harian 18-23 November 2013

RENUNGAN SEPANJANG MINGGU

Senin, 18 November 2013
JANGAN MENGHAKIMI (Roma 14:1-13)
Seorang hakim bertugas menyatakan siapa yang benar dan siapa yang salah. Untuk menjadi hakim yang baik, seseorang perlu memenuhi persyaratan tertentu. Kenyataan yang memprihatinkan adalah banyak orang yang senang menjadi hakim atas hidup orang lain.
Kekristenan pada mulanya sulit dibedakan dari agama Yahudi. Peranan Taurat dalam kehidupan orang Kristen abad pertama diperdebatkan. Bagi sebagian orang, tidak semua daging boleh dimakan dan ada hari-hari yang dianggap sak-ral (2, 5). Secara sosial, golongan yang terikat dengan Taurat disebut lemah. Sebaliknya, mereka yang terbebas dari ikatan Taurat disebut kuat. Terjadi perselisihan antara kedua golongan ini. Yang kuat merasa diri benar dan menghakimi yang lemah (1, 3, 4a, 13). Padahal keduanya telah ditebus dan menjadi milik Kristus (9).
Untuk mengatasi konflik ini, Paulus menjelaskan prinsip yang tidak boleh dikompromikan orang Kristen. Pertama, setiap orang percaya adalah milik Tuhan Yesus (4, 7-8). Hidup dan matinya dipersembahkan hanya kepada Tuhan. Kedua, setiap orang percaya telah ditebus oleh darah Kristus yang mulia (9). Barangsiapa percaya kepada Dia, Sang Juruselamat, pasti diselamatkan. Ketiga, semua manusia akan dihakimi dan mempertanggungjawabkan hidupnya di hadapan Tuhan (10, 12). Oleh karena itu, hanya Tuhan yang memiliki otoritas untuk menghakimi kehidupan manusia.
Hidup orang Kristen harus selalu dipusatkan kepada Kristus, sebagai Tuhan, Juruselamat, dan Hakim yang agung, bukan kepada pandangan dan penilaian manusia yang subjektif. Prinsip ini mengandung dua konsekuensi moral. Kita harus dapat saling menerima, meskipun terdapat perbedaan yang tidak prinsip (1). Kita dilarang menghina, menganggap rendah, dan menghakimi orang yang berbeda dengan kita (3). Kristuslah Hakim bagi semua manusia.
Doa: Tuhan, ampunilah aku, jika aku sering menilai dan menghakimi orang lain menurut selera pribadiku.

Selasa, 19 November 2013
JANGAN JADI TUHAN! (Roma 14:1-12)
Ssst! Tahukah Anda siapa-siapa saja di gereja atau persekutuan yang tidak rohani? Coba perhatikan cara berpakaian mereka, cara doa mereka, apa saja yang mereka makan. Psst! Kelompok persekutuan atau gereja mana saja yang tidak rohani? Tradisi ibadah apa saja yang tidak mereka turuti?
Ada berbagai isu yang oleh Alkitab tidak diberikan garis jelas, yang menyebabkan orang Kristen saling menghakimi. Dalam perikop ini Paulus mengacu pada dua isu, soal makanan (ayat 2) dan hari-hari khusus (ayat 5). Perbedaan pendapat muncul karena perbedaan latar belakang kelompok Kristen Yahudi dan bukan Yahudi. Daging yang dijual di tempat umum di kota-kota Romawi-Yunani dianggap tidak halal oleh orang Yahudi. Mungkin karena sudah dipersembahkan di kuil-kuil kafir. Maka orang Kristen Yahudi memiliki keberatan nurani untuk memakan daging. Terjadilah saling tuduh, yang makan daging merasa lebih kuat iman, yang tidak makan merasa lebih rohani. Pertikaian lain adalah di sekitar hari-hari raya. Meski sudah Kristen, orang asal Yahudi masih merayakan hari raya sesuai tradisi keyahudian mereka. Yang tidak berasal dari tradisi sama merasa tidak relevan merayakan hari raya tersebut. Maka terjadi lagi saling tuding. Kalau dibiarkan tentu tak baik bagi keutuhan gereja dan kesaksiannya!
Tentang hal-hal yang Alkitab tidak bicarakan dengan jelas, orang Kristen tak perlu saling menilai. Baik tentang makanan, hari raya, atau isu lain yang seringkali kita tidak sepakat sebab Alkitab tidak menyatakan dengan jelas. Kita harus berlapang dada untuk saling menerima. Bagaimana mempraktikkan sikap toleran ini. Pertama, masing-masing harus melakukan dengan hati yang yakin bukan dalam keraguan. Kedua, masing-masing melakukan dengan mengucap syukur kepada Tuhan. Apa pun perbuatan kita bukan untuk menyenangkan orang lain, tetapi untuk mensyukuri Allah. Ketiga, prinsip terpenting, semua orang harus hidup dalam tanggungjawab kepada Allah (ayat 12). Kita tidak berhak menilai! Jika kita menghakimi, kita mengambil posisi dan hak Allah!

Rabu, 20 November 2013
JIWA PENGKRITIK (Roma 14:1-12)
Jerry Bridges bercerita tentang seorang ayah yang sering sekali mengkritik anak perempuannya seolah-olah ia tidak bisa melakukan apa pun dengan benar. Anak ini tumbuh sebagai anak yang merasa tertolak dan ketika dewasa ia mencari orang-orang yang bisa membuatnya merasa diterima. Ketika ayahnya sadar, anak ini sudah hidup dalam seks bebas dan menjadi pecandu kokain. Kasus ini termasuk ekstrem, tak semua kritik bisa menimbulkan dampak separah itu. Namun, pada dasarnya, semangat mengkritik dan menghakimi memang bersifat menghancurkan.
Keharmonisan jemaat di Roma pernah rusak karena jiwa pengkritik. Dari komentar Paulus, tampaknya ada dua masalah yang membuat mereka saling menghakimi. Yang pertama adalah masalah makanan (ayat 2). Yang kedua adalah masalah hari-hari khusus (ayat 5). Berbeda pendapat boleh-boleh saja, tetapi dalam kasus ini, mereka mulai saling menghakimi dan menghina. Masing-masing kelompok merasa paling benar dan atau memandang rendah kelompok yang berbeda dengan mereka. Paulus pun menegur mereka dengan keras. Seolah ia hendak berseru: Allah-lah Hakimnya! Mengapa kalian bertindak sebagai Allah bagi orang lain?
Hal-hal yang tidak sesuai dengan firman Tuhan jelas perlu ditegur. Namun, berhati-hatilah agar ketika melakukannya kita tidak terjebak dalam sikap merasa diri paling benar dan merendahkan orang yang punya pendapat berbeda. Ungkapkanlah ketidaksetujuan kita dengan cara yang bijak, tidak kasar, apalagi sampai membunuh karakter seseorang. Sadarilah bahwa kita pun masih jatuh bangun dalam dosa dan membutuhkan kasih karunia. (MEL)
TEGURAN DALAM KASIH SANGAT DIPERLUKAN. NAMUN, JIWA YANG SUKA MENGKRITIK DAPAT MENGHANCURKAN

Kamis, 21 November 2013
JANGAN SALING MENGHAKIMI (Roma 14:1-12)
Salah satu strategi ampuh yang Iblis pakai untuk merusak gereja adalah dengan menyebabkan perpecahan dalam tubuh Kristus. Perpecahan terjadi dalam jemaat Roma karena adanya pihak yang "kuat" (15:1) dan yang "lemah" (14:1; 15:1). Pihak yang "kuat" adalah mayoritas, yaitu orang-orang Kristen nonYahudi yang merasa bebas dari hukum Musa, sedangkan pihak yang "lemah" adalah orang-orang Kristen Yahudi yang masih terikat tradisi sesuai hukum Musa (2, 5). Pihak yang "kuat" seringkali menghakimi pihak yang "lemah" dalam hal praktik-praktik tentang makanan dan hari-hari khusus.
Paulus menasihati agar kedua pihak itu saling menerima meskipun terdapat perbedaan (1). Menerima bukan sekadar mengakui keberadaan pihak lain, melainkan memperlakukannya sebagai saudara. Inilah ciri khas umat Allah. Namun ini sulit terjadi jika pihak yang "kuat" memaksakan kehendak kepada pihak yang "lemah."
Alasan penting mengapa anggota tubuh Kristus harus saling menerima satu sama lain, adalah karena "Allah telah menerima orang itu" (3; 15:7). Maka siapakah kita sehingga merasa berhak menolak dan menghakimi orang yang telah diterima Allah? Karya Kristus yang telah memperdamaikan manusia dengan Allah janganlah dinodai dengan penolakan anggota tubuh Kristus satu sama lain. Kristus telah mati dan membuktikan diri-Nya sebagai Tuhan (9). Sebagai Tuhan, Dia berhak menghakimi dan kepada-Nya setiap orang akan memberi pertanggungjawaban (10-12).
Dalam perspektif pengadilan Allah, tidak ada seorang pun yang lebih berhak untuk menghakimi orang lain.
Seringkali masalah-masalah remeh dalam gereja menjadi penyebab perpecahan. Ada kelompok yang merasa lebih benar dibanding yang lain, ada yang merasa berkarya lebih banyak. Paulus mengingatkan bahwa dalam hal-hal yang tidak hakiki, yang paling penting bukan masalah siapa yang benar atau salah, melainkan bagaimana agar anggota tubuh Kristus dapat hidup sebagai sesama saudara yang telah menerima karya Kristus dan yang akan bersama-sama menghadapi pengadilan Kristus.

Jumat, 22 November 2013
NO PIC HOAX! (Yohanes 20:24-29)
No pic hoax! Komentar ini lumayan populer di antara pengguna jejaring sosial, khususnya Twitter. Jika ada orang yang mengabarkan suatu hal yang unik, mengejutkan, atau mengherankan, namun tanpa melampirkan foto sebagai pendukung, biasanya ada orang lain yang menimpali dengan komentar itu. Tanpa bukti berupa foto, kabar itu dianggap bohong.
Tomas bersikap seperti itu ketika murid-murid lain menceritakan perjumpaan mereka dengan Tuhan yang telah bangkit. Ia ingin melihat sendiri dan menyentuh sendiri bekas luka pada tubuh Tuhan sebelum percaya akan kebangkitan-Nya.
Kita kerap merendahkan iman Tomas itu, menganggapnya sebagai iman kelas dua. Menariknya, para murid lain tidak berkomentar apa-apa terhadap keraguan Tomas. Mereka tetap menerimanya. Buktinya, Tomas bersama dengan mereka saat Yesus menampakkan diri lagi. Tuhan Yesus juga tidak mencela sikap Tomas, melainkan langsung menyodorkan bukti yang Tomas harapkan. Berhadapan dengan bukti itu, Tomas mengucapkan pengakuan iman yang tajam: "Ya Tuhanku dan Allahku!” (ay. 28). Meskipun kemudian Yesus menunjukkan jalan iman yang lebih baik “tidak melihat, namun percaya” (ay. 29) toh Dia memberi ruang pada keraguan Tomas.
Bagaimana kita menanggapi keraguan atau pertanyaan kritis seputar iman? Segera mencela dan menepiskannya? Atau memberi orang itu ruang untuk bergumul, mendampinginya tanpa bersikap merendahkan (bdk. Roma 14:1)? Ketika keraguan itu memperoleh jawaban, kita akan menemukan pengakuan iman yang kokoh. (ARS)
DALAM IMAN, KERAGUAN BUKANLAH JALAN BUNTU, MELAINKAN CELAH MENUJU PENGERTIAN YANG BARU

Sabtu, 23 November 2013
SELUMBAR (Matius 7:1-5)
Selumbar, atau dalam bahasa Yunaninya karfos, serumpun dengan kata kerja karfo "menjadi kering". Kata benda ini berarti tampuk, tangkai atau ranting kecil dan kering, serpihan jerami kecil, atau sehelai rambut atau bulu, yang mungkin terbang dan masuk ke mata. Secara kiasan kata itu dipakai Yesus untuk mengartikan kesalahan yang kecil. Lawannya adalah balok, kiasan untuk kesalahan besar yang mencolok.
Yesus mengecam kebiasaan mencela kesalahan orang lain sementara mengabaikan kesalahan diri sendiri. Orang percaya perlu tunduk kepada standar kebenaran Allah sebelum berusaha untuk meneliti dan memengaruhi perilaku orang Kristen lain (ay. 3-5). Menghakimi dengan cara yang tidak adil mencakup mengecam seseorang yang berbuat salah, tanpa keinginan untuk melihat orang itu kembali kepada Allah dan jalan-Nya. Kita mengecam tanpa menawarkan solusi.
Baik dilakukan secara sadar maupun tidak, tindakan menghakimi lumrah terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Orang dengan mudah melihat kesalahan orang lain, bahkan kesalahan yang sangat kecil seperti selumbar sekalipun. Sebaliknya, orang itu tidak menyadari kesalahan besar atau balok di dalam dirinya. Firman Tuhan mendorong kita untuk terlebih dahulu mengeluarkan balok tersebut. Artinya, menyadari kesalahan kita dan meminta anugerah Tuhan agar mampu meninggalkannya. Dengan demikian, kita diperlengkapi untuk menolong orang lain mengatasi kesalahannya, mengeluarkan selumbar dari matanya, dengan sikap yang lemah lembut, bukan menghakimi. (WB)
KETIKA KITA MENYADARI KELEMAHAN DIRI, KITA TIDAK AKAN MENGHAKIMI KESALAHAN ORANG LAIN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar