RENUNGAN SEPANJANG MINGGU
Senin, 11 November 2013
KASIH DAN KEKUDUSAN (Roma 13:8-14)
Dalam tindakan disiplin, selalu ada maksud baik. Hukum Taurat diberikan bukan untuk membatasi kebebasan manusia. Hakikat Hukum Taurat adalah kasih. Iman Kristen tidak memisahkan kasih dan kekudusan. Kasih sangat penting sehingga orang Kristen selalu berhutang untuk menunjukkan kasih kepada saudara-saudarinya (8). Demikian juga dengan kekudusan. Hal ini begitu penting sehingga Paulus menasihatkannya kepada jemaat di Roma dalam nada yang mendesak (11- 12a).
Pertama, kita mengasihi orang lain seperti mengasihi diri sendiri (9). Seberapa jauh seseorang dapat mengasihi dirinya, sejauh itulah kemampuannya mengasihi orang lain. Kasih tidak mementingkan diri sendiri, tetapi mempedulikan orang lain. Jika kita mengharapkan hal baik terjadi atas hidup kita, demikianlah seharusnya kita bersikap terhadap sesama kita. Kedua, menunjukkan kasih adalah menggenapi seluruh perintah Hukum Taurat (10). Hukum Taurat menentang segala kejahatan yang mencederai hubungan manusia dengan Tuhan dan dengan manusia lainnya. Mengasihi orang lain berarti tidak mencelakai sesama, sebaliknya mendemonstrasikan kekudusan sebagai lawan dari segala tindak kejahatan.
Paulus menegaskan kepada kita bahwa hanya ada dua kemungkinan hidup: malam dan siang (kegelapan dan terang). Kita harus menanggalkan perilaku malam, yaitu kemabukan, pesta pora, dosa seksual, perselisihan, iri hati, dan kedagingan lainnya. Kita harus mengenakan Yesus (hidup dalam terang), yaitu hidup sopan dan kudus. Kata "menanggalkan" dan "mengenakan" menunjukkan bahwa orang Kristen tidak dapat hidup di dalam daerah yang abu-abu. Orang Kristen harus menanggalkan kegelapan dan hidup dalam terang. Kasih dalam iman Kristen tidak membawa manusia kompromi dengan dosa. Kasih sejati berjalan bersama kekudusan.
Renungkan: Bagaimana kasih hidupku? Kasih kudus atau kasih berkompromi?
Selasa, 12 November 2013
ETIKA KASIH DAN HUKUM (Roma 13:8-14)
Menurut Anda mana yang benar: kasih dan hukum adalah alternatif dalam etika Kristen, atau kasih dan hukum adalah dua sisi dari satu kenyataan yang sama? Dalam pengalaman Anda sendiri, sungguhkah kasih dan hukum berjalan serasi dalam perilaku keseharian Anda?
Nasihat Paulus merupakan gema dan uraian lanjut dari ajaran Tuhan Yesus sendiri. Jika orang sungguh mengasihi Allah dan sesama manusia, maka ia pasti menggenapi semua hukum Allah baik yang mencakup relasi dengan Allah maupun dengan sesama (ayat 8-9). Inti dari hidup kudus dan benar adalah kasih kepada Allah dan sesama. Sebaliknya, inti dari semua perbuatan dosa adalah tidak mengasihi. Lebih tajam lagi, semua pelanggaran hukum Allah terhadap sesama disebabkan oleh kasih yang timpang; kasih yang ditujukan hanya kepada diri sendiri, tetapi tidak didampingi oleh kasih kepada sesama. Sehingga terjadilah hutang kasih, ketimpangan kasih! Karena kasih ditujukan hanya pada diri sendiri, kasih merosot menjadi egoistis dan penuh hasrat liar yang merendahkan orang lain. Karena egoistis, orang melakukan berba-gai perbuatan yang adalah lawan dari kasih kepada sesama. Maka terjadilah pelanggaran hukum dalam wilayah sosial.
Jawaban untuk kejahatan sosial tidak cukup dengan law enforcement (pelaksanaan hukum secara tegas), tetapi harus didorong oleh love enforcement (memberlakukan kasih secara gigih). Hukum bukan sumber etika, tetapi rambu atau kerangka etika. Nafas yang menghasilkan kehidupan etis adalah kasih kepada Allah dan sesama seperti kepada diri sendiri. Apabila kita menekankan pelaksanaan hukum tanpa motivasi kasih, kita akan "kudus" tetapi munafik atau "benar" tetapi legalistis. Sebaliknya menekankan kasih tanpa peduli hukum akan menciptakan kekacauan moral dan kemerosotan kasih menjadi kasih yang egoistis atau hasrat pemuasan nafsu secara liar. Etika Kristen memberi jawaban indah dan kuat. Kita harus melunasi hutang kasih kita kepada sesama; kasih yang lengkap dan utuh ini serasi dengan perilaku manusia terang!
Rabu, 13 November 2013
HIDUP BARU, REALITAS BARU (Roma 13:8-14)
Hutang adalah kewajiban yang harus selalu dilunasi. Namun ada hutang yang akan terus ada, yaitu hutang mengasihi. Terjemahan harfiah dari ayat 8a adalah, "Janganlah kamu berhutang apa pun kepada siapa pun kecuali (berhutang) untuk mengasihi satu sama lain." Kuasa Injil memang mencondongkan orientasi hidup kita untuk mengasihi sesama, dan kasih adalah kegenapan dari hukum Taurat (8-10).
Dalam Roma 6:14-15, Paulus berkata bahwa orang percaya tidak lagi hidup di bawah hukum Taurat. Ini tidak berarti bahwa kita bebas dari segala hukum sehingga bisa melakukan apa pun semaunya. Injil tidak membuat kita mengabaikan hukum melainkan menggenapi seluruh tuntutan hukum, yang mustahil terjadi tanpa kuasa Injil. Ketaatan kepada tuntutan inti dari Injil, yaitu mengasihi sesama, merupakan penggenapan dari hukum Taurat (bdk. Mat 22:36-40).
Mengapa kasi merupakan kegenapan dari hukum Taurat? Karena kasih tidak akan melakukan hal yang jahat terhadap sesama (10). Dan dalam relasi umat dengan sesamanya, hukum Taurat merupakan perintah untuk berbuat baik. Maka syukur kepada Allah di dalam Kristus, yang telah memampukan kita untuk mengasihi sesama.
Selanjutnya sekali lagi Paulus mengingatkan orang percaya untuk memiliki totalitas dalam cara hidup yang baru berhubung dengan realitas barunya di dalam Kristus (11-14). Kita sudah hidup dalam hidup yang baru di mana Kristus memerintah. Sudah saatnya kita "bangun dari tidur", meninggalkan hidup lama. Realitas hidup baru menjadi alasan untuk menanggalkan semua cara hidup dalam hidup lama (12-13). Menanggalkan atribut hidup lama dikontraskan dengan mengenakan Kristus (14a), yaitu mengadopsi karakter dan nilai-nilai-Nya. Hanya dengan mengenakan Kristus, kita dapat menolak keinginan daging dari kehidupan yang lama (14b).
Di dalam Kristus kita telah hidup dalam realitas baru. Hidup kita pun harus berpadanan dengan nilai-nilai hidup baru ini, yaitu selalu mengasihi sesama dan menolak perbuatan-perbuatan yang memalukan.
Kamis, 14 November 2013
SAHABAT SEJATI (Amsal 18:19-24)
Kata sahabat dapat didefinisikan sebagai "kedekatan seorang akan yang lain karena kasih sayang, rasa hormat, atau saling menghargai; teman yang sangat intim." Yesus mendefinisikan persahabatan demikian: "Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu.... Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku" (Yohanes 15:14-15).
Sahabat adalah seseorang tempat kita berbagi cerita dan yang tak pernah mengkhianati sebuah kepercayaan. Sahabat sejati tidak akan mengeluarkan kata-kata yang melukai hati kita. Jika kita mendengar sekelompok orang Kristen yang mencari-cari kesalahan orang Kristen lainnya, mungkin kita akan bertanya-tanya apa yang mereka katakan tentang kita bila kita tidak berada di depan mereka?
Sahabat sejati adalah orang yang mengetahui segala sesuatu tentang kita dan mengasihi kita seutuhnya. Seorang anak muda menyebut sahabat semacam itu sebagai "seseorang yang selalu setia bersama Anda setelah ia menjadi teman Anda."
Sahabat sejati adalah seseorang yang di hadapannya kita dapat tampil apa adanya tanpa takut terjadi kesalahpahaman. Ia bukanlah orang yang diam-diam membicarakan kita dengan orang lain, melainkan orang tempat kita dapat membuka rahasia hati, dengan keyakinan bahwa ia tidak akan mengkhianati kita. Sahabat seperti itu adalah Yesus, Pribadi sempurna yang menggenapi perkataan Salomo: "Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu" (Amsal 17:17).
Sahabat seperti apakah Anda? [MRD]
SAHABAT TERBAIK ADALAH SEPERTI YESUS. MEREKA AKAN TETAP SETIA BERSAMA ANDA
Jumat, 15 November 2013
KEAJAIBAN KASIH (Kejadian 36:1-8)
Saya mengenal seorang ibu yang begitu mengasihi anaknya. Bahkan sekalipun si anak berlaku tidak baik, sang ibu tak kehilangan rasa sayangnya. Suatu kali, si anak marah, meninggalkan rumah, dan tak kembali. Beberapa orang meminta si ibu untuk membiarkannya saja karena si anak sangat kurang ajar. Orang-orang yang tak tahan melihat perilakunya mengatakan bahwa ia adalah "anak yang patut dibuang". Akan tetapi, si ibu tidak menggubris. Ia terus berusaha mencari anaknya dan berharap anaknya kembali. Bagi saya, kasih ibu ini tampak ajaib, sebab saat orang lain "membuang" si anak, sang ibu mencarinya.
Gambaran tokoh Esau dalam Alkitab juga serupa dengan anak di atas. Esau, bisa dikatakan tidak menghargai kasih Allah. Ia memandang rendah hak kesulungan yang dimilikinya dan dengan mudah menjualnya dengan harga yang tak setimpal. Namun, Alkitab tak berhenti mencatat tentang kehidupannya, dan seluruh ayat dalam Kejadian 36 menceritakan bagaimana Allah terus memelihara Esau dan keturunannya. Walaupun Esau bisa dianggap sebagai "anak yang kurang ajar dan patut dibuang", tetapi Allah tetap mengasihinya. Itulah kejaiban kasih Allah.
Dalam perjalanan hidup ini, kita juga bisa bersikap "kurang ajar". Bahkan barangkali manusia bisa tidak tahan menghadapi sikap atau perilaku kita. Namun, ketika orang lain sulit menerima kita, Allah terus mencari kita. Kasih-Nya selalu sangat besar kepada kita. Dan setiap kita adalah objek kasih-Nya yang besar. Maukah kita menyambut kasih ajaib itu dan menghargainya dengan sungguh-sungguh?. (RY)
BAHKAN KETIKA SEMUA ORANG SEOLAH-OLAH "MEMBUANG" KITA, ALLAH TERUS MENCARI KITA
Sabtu, 16 November 2013
FACE TO FACE (1 Tesalonika 3:1-13)
Acara televisi itu sengaja dikemas untuk mempertemukan kembali mereka yang akibat kerasnya arus dan badai kehidupan terpaksa berpisah; mereka yang telah lama tak berjumpa dan tak pernah membayangkan bakal bertemu muka. Padahal mereka ialah orang-orang yang punya hubungan dekat. Ibu dan anak kandung; dua saudara kandung; dua sobat masa kecil; ayah dan anak. Bahkan, pasangan suami-istri. Puncak acara yang paling ditunggu adalah saat mereka dipertemukan muka dengan muka. Mengharukan. Raut muka mereka berubah. Bercahaya, seperti orang "hidup kembali".
Paulus sangat rindu berjumpa lagi dengan jemaat Tesalonika. Hubungan kasih di antara mereka layaknya orangtua dan anak (1 Tesalonika 2:7, 11). Dalam rute pekabaran Injilnya yang kedua, jemaat itu sempat ia layani, tetapi kemudian terpaksa ditinggalkan dalam keadaan tertekan dan teraniaya masyarakat sekitar (ayat 4). Paulus khawatir. Maka, ia mengutus Timotius mengunjungi mereka (ayat 2) dan berdoa agar kelak Tuhan mempertemukan mereka kembali (ayat 10, 11). Sebelum itu terkabul, sekadar mendengar kabar Timotius bahwa mereka baik-baik saja sudah membuat Paulus "terhibur" (ayat 7) dan serasa "hidup kembali" (ayat 8). Apalagi, bila kelak mereka berjumpa muka dengan muka!
Perjumpaan muka dengan muka tak tergantikan oleh media komunikasi jarak jauh mana pun. Itulah puncak kerinduan orang-orang yang saling mengasihi. Jadi, jika Tuhan memberi kesempatan, atur dan sediakan kesempatan untuk berjumpa muka dengan muka dengan orang-orang yang kita kasihi. Dampaknya besar. Menghibur. Memberkati. Bisa membuat orang serasa "hidup kembali". (PAD)
KASIH BERPUNCAK PADA PERJUMPAAN MUKA DENGAN MUKA. UPAYAKAN SEDAPAT MUNGKIN SELAGI ADA KESEMPATAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar