Renungan Harian 28 Oktober-02 November 2013

RENUNGAN SEPANJANG MINGGU

Senin, 28 Oktober 2013
KETIKA KITA SUNGGUH MENGASIHI (Roma 12:9-21)
Betapa ajaib sikap dan tindakan Tuhan Yesus, ketika Ia dalam kasih mengerjakan rencana penyelamatan Allah untuk kita. Akan dahsyat juga kenyataan hidup dan pelayanan kita, bila kasih yang sama kita izinkan beroperasi nyata!
Apa saja wujud kasih dalam kehidupan dan pelayanan kita? Pertama, kasih serasi dengan kekudusan dan kebaikan. Kasih akan membuat kita tidak menjahati sesama, tetapi melakukan hal yang membangun dan membuat indah hidup sesama. Kedua, kasih menempatkan penilaian tentang diri dan sesama jadi serasi dengan penilaian Allah terhadap setiap orang (ayat 16). Kasih tak salah menilai baik diri sendiri maupun orang lain; maka ia tak meninggikan atau merendahkan diri maupun orang lain. Kasih akan menghasilkan suasana saling menghormati. Menghormati orang lain bukan karena kapasitas manusiawi, tetapi karena penilaian Allah sendiri. Ketiga, menyadari besarnya kasih Allah kita akan mengasihi Dia dalam semangat yang menyala-nyala (ayat 11). Orang yang melayani dengan semangat, kesungguhan, dan daya besar adalah orang yang merespons kasih Kristus dengan benar.
Paulus juga menunjukkan bagaimana kenyataan konkret kasih ketika orang menghadapi masalah, dan dalam kehidupan bersama. Ketika kita diizinkan Allah menanggung kesusahan hidup, kasih akan membuat kita tetap berpengharapan dan menanggung dengan sabar sambil terus berdoa. Orang yang hidup dalam kasih Kristus selalu melimpah dengan sikap beranugerah kepada sesama. Kristus memberi diri-Nya dan dengan berkurban membuat anugerah Allah menjadi pengalaman kita; demikian juga kasih yang sama membuat kita selalu ingin memberkati, berbagi, bukan mengutuk, apalagi membalas jahat dengan jahat! Orang percaya yang konsekuen melanjutkan kasih Kristus dalam hidup keseharian akan berdaya besar menaklukkan kejahatan dengan kebaikan.
Kasih Kristus sudah kita terima. Jangan berhenti hanya pada pengakuan dan ucapan syukur. Lanjutkan dengan hidup sebagai instrumen kasih!

Selasa, 29 Oktober 2013
INJIL SEBAGAI DASAR KASIH (Roma 12:9-21)
Perintah untuk mengasihi cenderung membuat kita merasa kurang nyaman karena menempatkan kita di pihak yang memberi, berkorban, merendah, dan mengalah. Namun kekristenan bukan semata-mata soal perintah mengasihi melainkan berinti pada berita Injil. Perintah tanpa inti berita Injil membuat kita menjadi legalis dan apa yang kita lakukan menjadi kewajiban semata.
Dalam Roma 1-11 Paulus memaparkan berita Injil tentang apa yang telah Kristus lakukan bagi orang percaya. Lalu dalam pasal 12-15 Paulus memaparkan respons orang percaya yang seharusnya. Perikop hari ini memaparkan hal-hal praktis dalam kehidupan orang percaya sebagai buah dari kuasa Injil yang mengubahkan. Sepintas terlihat bahwa perintah-perintah ini tidak mempunyai kaitan satu sama lain, tetapi sesungguhnya semua terikat dalam satu perintah utama, yaitu perintah kasih (9-10). Merupakan hal yang normal jika umat tebusan Kristus mengasihi karena Kristus sendiri telah menetapkan norma itu: "sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi" (Yoh 13:34b-35). Berita Injil memang harus menjadi dasar dari perintah mengasihi.
Kasih itu tidak boleh pura-pura (arti harfiah: memakai topeng). Kasih yang tulus tampak dalam relasi orang percaya dengan sesamanya (10, 13-21). Kasih itu aktif dan penuh inisiatif, seperti mendahului memberi hormat, membantu orang yang kekurangan, memberkati, bersukacita dan berdukacita bersama orang lain, berdamai, dan berbuat baik.
Kasih juga mempunyai dimensi vertikal. Kasih mendorong orang untuk rajin dan berkobar dalam melayani Tuhan (11), bersukacita dan bersabar dalam kesesakan karena ada pengharapan kepada Allah (12). Kasih mendorong kita untuk menghormati hak dan kedaulatan Allah (19).
Mari wujudkan kasih Kristus dalam relasi kita dengan Allah dan sesama karena kita telah menerima anugerah Injil yang begitu berharga.

Rabu, 30 Oktober 2013
MEMUPUS KEBENCIAN (Roma 12:9-21)
Ketika misionaris pertama tiba di Alberta, Kanada, mereka mendapatkan perlawanan sengit dari kepala suku Indian Cree yang masih muda, bernama Maskepetoon. Namun pria itu kemudian menyambut berita Injil dan menerima Kristus. Tidak lama sesudahnya, seorang warga suku Blackfoot membunuh ayahnya. Maskepetoon menunggang kuda ke desa si pembunuh dan menuntut orang itu dibawa ke hadapannya. Ia berkata, “Kau sudah membunuh ayahku, maka sekarang kau harus menjadi ayahku. Kau harus menunggang kuda terbaikku dan mengenakan pakaian terbaikku.” Ternganga keheranan dan sekaligus tertempelak penuh penyesalan, orang itu berseru, “Anakku, kini engkau membunuhku!” Maksudnya, kebencian yang bercokol dalam hatinya terhapuskan sepenuhnya oleh pengampunan dan kebaikan hati sang kepala suku.
Setelah berbicara tentang “mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup” sebagai tanggapan atas kemurahan Allah (Rom. 12:1), Paulus memaparkan tindakan praktis untuk mempersembahkan tubuh, yaitu dengan hidup dalam kasih. Menariknya, ungkapan kasih ini sebagian besar berkaitan dengan sikap dalam menghadapi kejahatan yang menimpa kita. Selain mengampuni dan menyerahkan pembalasan kepada Allah, kasih karunia-Nya memampukan kita bertindak lebih jauh: membalas kejahatan itu dengan kebaikan. Itulah yang dialami Maskepetoon.
Kita juga telah menerima kasih karunia Allah. Jika kejahatan kita yang begitu besar sudah diampuni ole Allah, bagaimana kita akan memperlakukan orang-orang yang menyakiti kita?. (ARS)
DENDAM MENYEMAI KEDENGKIAN; PENGAMPUNAN MEMUPUS KEBENCIAN

Kamis, 31 Oktober 2013 
MEMBANGUN KEBERSAMAAN (Roma 12:12-21)
Membangun kebersamaan tidak mudah. Semakin banyak orang di dalam sebuah kelompok, semakin banyak perbedaan dan potensi konflik. Paulus memahami hal ini dan memberikan nasihat kepada jemaat bagaimana membangun kebersamaan sebagai anggota tubuh Kristus.
Pertama, tetaplah berpengharapan, bersabar dan berdoa, apa pun konflik yang sedang dihadapi (12). Paulus mengajak jemaat untuk tidak menyerah kepada konflik yang pahit, tetapi bertekun dan bersikap positif dalam menggapai penyelesaian. Kedua, kemurahan hati adalah prinsip penting yang mencegah konflik, bahkan mengobati jika konflik ini terjadi (13). Perhatikan konflik-konflik yang terjadi di Indonesia, bukankah kecemburuan sosial adalah salah satu akar yang paling utama? Bukankah gereja menjadi jauh lebih bermurah hati setelah terjadi banyak kerusuhan?
Ketiga, bangkitkanlah semangat menjunjung tinggi persatuan dan kesehatian (14-16). Kita harus selalu menunjukkan kebaikan, meskipun kepada orang yang menganiaya kita. Ketika orang lain sedang bersusah hati, kita ikut bersusah hati, demikian pula sebaliknya, ketika orang lain bersukacita, kita pun larut di dalamnya. Simpati dan empati adalah dua kata yang amat dalam dan penting artinya di dalam memelihara kesatuan. Kita diminta untuk tidak merasa lebih unggul, lebih pandai, atau lebih penting daripada orang lain. Sikap demikian adalah penghancur kesatuan dan kesehatian. Keempat, berusahalah hidup damai dengan semua orang (17-20). Bahkan dengan musuh yang paling menyakitkan pun, orang Kristen harus berinisiatif untuk hidup damai dan berdamai. Pelayanan yang kita lakukan kepada teman dan sahabat kita, harus kita lakukan juga kepada mereka yang telah berbuat jahat. Tugas kita adalah memberkati dan berbuat kebaikan. Pembalasan adalah hak Tuhan.
Renungkan: Dengan bersikap dewasa iman, kita dimampukan Tuhan bukan membuat konflik, sebaliknya menjadi alat pendamai dari Allah bagi sesama.

Jumat, 01 November 2013 
MEMADAMKAN KEJAHATAN (Roma 12:15-21)
Sekian tahun yang lalu saya dihina oleh orang yang akan menyewakan rumahnya kepada kami sekeluarga. Sebenarnya, pemicu masalahnya adalah kesalahan komunikasi antara dia dan istrinya. Namun, ia tidak mau mengakuinya dan malah merendahkan saya. Saya keluar dari rumahnya sambil mendoakan hal-hal yang jelek baginya. Saya pergi dengan perasaan terluka dan tersiksa.
Beberapa tahun kemudian, saya kembali difitnah oleh seorang ibu yang akan melanjutkan kontrakan rumah kami. Bedanya, kali ini saya dapat berdoa dengan tulus, agar ia dapat akur dengan suaminya dan berbahagia. Setelah berdoa seperti itu, saya tidak lagi merasa sakit hati kepada ibu itu, malah menjadi bersemangat dan bersukacita.
Tidak jarang kita berpikir bahwa kita sebaiknya berdiam diri saja saat dianiaya atau diperlakukan dengan jahat oleh orang lain. Kita tidak perlu membalas kejahatan itu. Firman Tuhan mendorong kita untuk melangkah lebih jauh. Kita diperintahkan untuk melawan kejahatan dan mengalahkannya. Bukan dengan membalas berbuat jahat, melainkan dengan berbuat baik pada si pelaku kejahatan.
Jika kita melawan kejahatan dengan kejahatan, berarti kejahatan semakin berkembang. Sekalipun tampaknya ada yang menang, sesungguhnya kejahatan hanya mendatangkan siksaan dan penderitaan bagi semua pihak. Untuk memadamkan kejahatan, kita harus menggunakan penangkalnya: kebaikan. Ketika kita memilih untuk melawan kejahatan dengan mengampuni dan mengasihi pelakunya, sukacita dan damai sejahtera akan merebak.(TS)
KEJAHATAN TIDAK SEPATUTNYA DIBIARKAN DAN DIDIAMKAN, MELAINKAN HARUS DIPADAMKAN DAN DIKALAHKAN DENGAN KEBAIKAN

Sabtu, 02 November 2013 
MEMBALAS KEJAHATAN (Roma 12:17-21)
Toni jengkel. Sejak berdiri, pabriknya sering ditimpuki anak jalanan. Puluhan kali alarm pencuri berbunyi. Suatu hari dipergokinya 3 anak mencuri mangga di halaman. Mereka terpojok ketakutan. Toni naik darah, tetapi tiba-tiba teringat firman Tuhan: “Jangan membalas kejahatan dengan kejahatan.” Diberinya tiap anak satu mangga sambil dinasihati: “Lain kali minta saja, jangan mencuri.” Dua hari kemudian, 5 anak datang minta mangga! Toni sabar melayani. Rela diganggu. Lama-lama, mereka datang tiap sore. Bukan lagi untuk minta mangga, melainkan untuk berteman. Mereka diajari baca tulis. Pabriknya jadi aman. Lebih lagi, anak-anak jalanan bisa belajar mengenal kasih Tuhan.
Saat orang berbuat jahat, biasanya kita ingin membalas. Mengapa? Sebab kita merasa terganggu. Terluka. Jika membalas, ada rasa puas. Namun, pembalasan membuahkan pembalasan; melahirkan lingkaran dendam tak berkesudahan. Rasul Paulus memberi saran radikal: berbuat baiklah pada musuhmu! (ayat 17,20). Tindakan kasih tanpa pamrih berkuasa menghancurkan hati lawan, mengubah dendam menjadi pengampunan (ayat 21). Kita bertanya, “Lantas bagaimana dengan kejahatan mereka? Tidakkah mereka harus menerima hukuman setimpal?” Soal pembalasan, kata Paulus, serahkan saja pada Tuhan (ayat 19). Bagian kita adalah menunjukkan kebaikan.
Untuk bisa berbuat baik saat disakiti, kita harus bersabar menghadapi orang-orang yang sulit dan berhati bengkok. Untuk itu dibutuhkan penyangkalan diri. Ingat janji firman Tuhan. Memang tak mudah, namun hasilnya indah. Cobalah!. (JTI)
HANYA ORANG YANG RELA DIGANGGU DAPAT TUHAN PAKAI MENYENTUH HIDUP SESAMA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar