Renungan Harian 02-07 September 2013

RENUNGAN SEPANJANG MINGGU

Senin, 2 September 2013
KEDAULATAN DAN KEMURAHAN ALLAH (Roma 9:14-29)
Berbicara tentang Allah yang telah memilih Yakub, tetapi menolak Esau bukanlah hal yang mudah. Ada kesan bahwa Allah pilih kasih kepada manusia. Namun benarkah demikian? Paulus menghadapi dua keberatan dari para lawannya mengenai sifat Allah tersebut. Keberatan pertama; apakah Allah telah bersikap tidak adil? Paulus menjawab tidak. Pemilihan Allah berdasarkan kedaulatan-Nya yang mutlak, tidak tergantung pada kehendak dan perbuatan manusia. Bahkan kekerasan hati Firaun pun, dapat dipakai Allah untuk menunjukkan kuasa dan kemuliaan-Nya di seluruh bumi.
Keberatan kedua, jika segala sesuatu berjalan sesuai dengan ketetapan Allah, mengapa manusia dipersalahkan atas perbuatan dosa mereka? Bukankah itu sesuai kehendak-Nya? Menjawab ini, Paulus menunjukkan bahwa Allah sebagai Pencipta berhak untuk memilih siapa pun yang Dia kehendaki. Manusia tidak memiliki kapasitas atau hak untuk mempertanyakan kebijaksanaan Tuhan. Di dalam bijaksana-Nya, Tuhan selalu mempunyai tujuan yang ingin dicapai. Entah kepada orang-orang durhaka ataukah orang-orang pilihan, Entah melalui murka ataukah melalui kesabaran. Allah selalu bertindak demi tujuan agar kuasa dan kemuliaan-Nya menjadi nyata. Ketika Allah memilih Israel dan bukan bangsa yang lain, bukan berarti Dia sedang tidak berlaku adil, melainkan karena Allah mempunyai maksud dan tujuan untuk bangsa Israel maupun bangsa-bangsa lain. Sebab jika Allah semata-mata hanya ingin menunjukkan keadilan-Nya, maka jangankan bangsa-bangsa lain, Israel pun akan lenyap tak bersisa bagaikan Sodom dan Gomora.
Demikianlah, Allah telah memilih kita berdasarkan kedaulatan serta kemurahan-Nya. Kita tidak patut mempertanyakan kebijaksanaan Allah tersebut. Yang perlu kita lakukan adalah bersyukur dan memuliakan Dia atas kasih karunia-Nya yang telah memilih untuk menyelamatkan kita. Di samping itu, kita pun harus berdoa untuk orang-orang di sekitar kita agar mereka pun boleh menerima anugerah keselamatan itu.

Selasa, 3 September 2013
KARENA KASIH KARUNIA (Roma 9:19-29)
Masalah pilihan Allah selalu mengundang pertanyaan mengenai keadilan-Nya. Ia memilih Israel dan menolak bangsa-bangsa lain. Ia memilih Musa, tetapi menghukum Firaun. Adilkah ini? Jika segala sesuatu dalam diri manusia telah berjalan menurut kehendak Allah, lalu mengapa manusia harus disalahkan? Paulus menjelaskan jawabannya.
Pertama, kita tidak mungkin mempertanyakan kehendak Allah (ayat 19-21). Allah itu Maha Bijak maka adalah bodoh jika kita, bejana tanah liat ini, menantang Pencipta kita. Kedua, Allah mempunyai kehendak dalam diri setiap orang (ayat 22-24). Musa menerima kasih karunia Allah dan ia menjadi alat untuk menyatakan kasih karunia itu. Namun Firaun, sang pemberontak, menerima murka Allah. Ia memang tak pantas menerima belas kasih Allah. Lalu apakah Allah dapat dituduh tidak adil atas hal ini? Allah memiliki kebebasan untuk menyatakan kasih karunia kepada orang yang Dia kasihi. Ketiga, semua itu telah dinubuatkan oleh nabi-nabi (ayat 25-29). Paulus mengutip nubuat Hosea yang menyatakan bahwa Allah akan berpaling dari Israel dan memanggil bangsa-bangsa lain (Hos 2:22, 1:10). Juga nubuat Yesaya tentang kasih karunia Allah dalam menyelamatkan sisa Israel yang percaya (Yes 1:9). Lalu apakah semua itu memperlihatkan ketidakadilan Allah? Jelas tidak, karena Allah tidak berkewajiban untuk memilih berdasarkan perbuatan manusia atau berdasarkan rasnya. Allah tidak dapat dikatakan tidak adil bila Ia memilih seseorang dan menolak yang lain, karena ini adalah masalah kasih karunia. Kita tidak bisa mempertanyakan mengapa demikian, sebab itu berarti kita telah melampaui hak kita sebagai ciptaan. Lagi pula pilihan Allah telah membuka kesempatan bagi bangsa lain untuk diselamatkan sehingga kita yang berasal dari bangsa lain pun dapat memperoleh kasih karunia untuk diselamatkan, tanpa memperhitungkan siapa kita.
Kita patut bersyukur dan memuliakan Allah atas hal itu. Dan tentu saja tetap berdoa agar orang lain yang belum menerima keselamatan dapat menerima kasih karunia itu.

Rabu, 4 September 2013
KEDAULATAN KASIH ALLAH (Roma 9:19-33)
Membicarakan tentang doktrin pilihan memang memerlukan hikmat bijaksana. Oleh karena itu, ketika menuliskan bagian surat ini Paulus berhati-hati, namun jelas dan tegas. Kebenaran memang dapat menimbulkan permasalahan, tetapi tetap harus dinyatakan meski pembaca suratnya mungkin tidak sependapat dengannya.
Jika Allah menyelamatkan sebagian orang, tetapi juga mengeraskan hati sebagian orang yang lain, bukankah hal itu berarti Allah yang bertanggung jawab untuk kebinasaan sebagian orang tersebut (19)? Lalu di manakah keadilan Allah, jikalau Ia telah menentukan lebih dahulu kebinasaan atau keselamatan seseorang bahkan sebelum kelahirannya? Pertanyaan-pertanyaan yang hendak Paulus jawab ini mungkin berasal dari pokok Yahudi, mungkin juga berasal dari pokok Romawi (20-21). Pokok Yahudi pasti mempertanyakan keadilan Allah. Sedangkan pokok Romawi pasti terpengaruh oleh ajaran dan kepercayaan bahwa nasib umat manusia dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan astrologis yang tidak menentu.
Jika kita merasa Allah tidak adil dalam keputusan dan pemilihan-Nya, mari kita tempatkan diri kita pada posisi ciptaan. Mari dengan rendah hati, kita mengakui ketidaklayakan kita untuk mengajari Tuhan apa yang harus dan tidak harus Ia perbuat (20-21). Syukurilah bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam sejarah manusia bukan disebabkan oleh kuasa-kuasa lain, tetapi disebabkan oleh Allah yang Maha Kuasa (22). Ingatlah juga bahwa kita semua adalah orang berdosa. Bukankah kasih yang telah membuat kita yang seharusnya dimurkai boleh mengenal Tuhan Yesus dan karya penyelamatan-Nya? (23). Yakinilah pemilihan Allah itu sebagai serasi baik dengan kedaulatan, keadilan, dan kasih-Nya, maupun dengan tanggung jawab kita sebagai manusia.
Ingat: Hanya dengan menundukkan diri kita kepada-Nya, kita akan dibuat takjub oleh visi misi Allah yang dahsyat.

Kamis, 5 September 2013
JANGAN MENUNDA! (Hagai 1:1-11)
Seorang kawan menceritakan pengalamannya di seminari. Ia menyanggupi sebuah tugas yang ditawarkan pembimbingnya. Namun, sampai waktu yang ia janjikan sendiri, ia belum menyentuh tugas itu. Dan ia masih juga menundanya sampai beberapa lama. Setiap kali ditanya, ia selalu berdalih. Akhirnya, suatu hari, sang pembimbing membawanya ke taman seminari. Di situ, ia dipaksa berlutut di depan patung Yesus yang tersalib. Sang pembimbing berkata, "Silakan kamu jelaskan alasan penundaanmu kepada Tuhan Yesus!" Sejak saat itu, ia tidak pernah menunda semua janji dan tugasnya.
Penundaan adalah problem yang menjangkiti bangsa Yehuda. Sebagai umat pilihan Allah, mereka seharusnya membangun kembali Bait Allah yang sudah dihancurkan oleh bangsa Babel karena Bait Allah adalah tempat dan representasi dari kemuliaan Allah (ay. 8). Namun, enam belas tahun telah lewat sejak mereka kembali dari pembuangan ke kota Yerusalem, dan mereka sama sekali belum menunjukkan niat untuk membangunnya. Mereka terus menundanya (ay. 2). Ironisnya, mereka sudah bergegas membangun rumah masing-masing, sementara Bait Allah dibiarkan telantar. Allah pun menegur mereka melalui Hagai.
Suka menunda hal yang penting adalah kebiasaan buruk. Anak Tuhan bertanggung jawab mengerjakan tugasnya tanpa mengulur-ulur waktu. Sesungguhnya, penundaan adalah sikap yang tidak menghargai Tuhan dan sesama. Apakah Anda sedang menunda suatu tugas? Jangan menundanya lagi, dan tuntaskan segera tugas itu. (JIM)
PENUNDAAN SERINGKALI MALAH BERAKHIR PADA TUGAS YANG SAMA SEKALI TIDAK DIKERJAKAN

Jumat, 6 September 2013
YANG MAHAMULIA (Yehezkiel 1:15-28)
Jika kita mencoba membayangkan atau berimajinasi mengenai kemuliaan Tuhan, kita akan menemui kesulitan karena keterbatasan kita. Pengarang atau penyair terbaik sekalipun tak akan dapat mengungkapkannya dengan kata-kata. Pelukis sekaliber Picasso juga tak akan mampu menuangkannya di atas kanvas. Pencipta lagu dan penyanyi tak akan bisa melantunkannya. Pemahat patung kelas dunia pun tak akan sanggup memahat sosok mulia ilahi.
Begitu juga yang dialami Yehezkiel. Betapa ia terbata-bata ketika melihat kemuliaan Tuhan. Kemuliaan Tuhan terlalu dahsyat untuk dapat diuraikan. Tidak heran, ketika kita membaca upaya Yehezkiel menggambarkannya, semakin banyak kata digunakan justru semakin bingung kita membayangkannya. Coba bayangkan ay. 15-28a, misalnya. Sangat sulit, bukan? Karena itu, hanya satu hal yang Yehezkiel perbuat tatkala diperhadapkan pada kemuliaan Tuhan yang begitu dahsyat: sujud menyembah dalam kerendahan hati (ay. 28).
Allah yang Mahamulia, yang jauh melampaui pikiran manusia, tidak bisa digambarkan oleh apa pun di muka bumi ini. Manusialah satu-satunya ciptaan Allah yang disebut gambar Allah (Kej. 1:26-27). Manusia diciptakan Allah dengan menyandang citra Allah (imago Dei), untuk menyatakan kemuliaan Allah. Nah, apakah hidup kita perkataan, pikiran, dan perbuatan kita sudah memuliakan Tuhan? Oleh Yesus Kristus, Sang Manusia Sejati, kita dikuduskan agar layak memuliakan Allah!. (ENO)
MULIAKANLAH ALLAH DENGAN SELURUH ASPEK KEHIDUPAN KITA KARENA HANYA DIA YANG PATUT DISEMBAH

Sabtu, 7 September 2013
NYANYIAN ALAM (Mazmur 19:1-7)
Apa buktinya Allah ada?” selalu menjadi topik hangat dalam diskusi keagamaan. Ini bukan saja pertanyaan yang muncul dari mereka yang tidak percaya adanya Allah, namun juga dari kalangan yang memercayai adanya Allah. Logika berpikir yang sangat mendasar untuk menjawabnya adalah: segala ciptaan ada karena ada penciptanya. Makin rumit suatu ciptaan, makin hebat pula penciptanya.
Logika inilah yang juga dipakai pemazmur dalam merenungkan keberadaan Allah. Ia melihat betapa Allah meninggalkan sangat banyak jejak dan bukti tentang keberadaan-Nya melalui alam semesta. Percaya bahwa langit, matahari, dan segala kompleksitas alam di sekitar kita itu ada dengan sendirinya adalah sebuah ide konyol dari mereka yang menekan bisikan nurani. Keindahan, kemegahan dan keteraturan jagat raya menyiratkan ada arsitek agung di baliknya. Buah karya Allah, yaitu bumi dan segala isinya adalah salah satu cara Allah untuk membisikkan keberadaan-Nya.
Keberadaan alam semesta tidak hanya layak menjadi alat pembuktian namun sepantasnya menimbulkan pesona dan hormat kepada Sang Pencipta. Kalau langit saja bisa menceritakan pekerjaan Tuhan yang mulia, betapa lebih lagi kita sebagai ciptaan-Nya yang paling agung, yang dibuat seturut gambar-Nya. Sudah selayaknya kita juga menjadi pencerita kemuliaan-Nya dan pemberita pekerjaan tangan-Nya. Seberapa besar kekaguman kita kepada-Nya dan seberapa banyak cerita hidup kita menjadikan orang kagum kepada-Nya?. (PBS)
KETIKA KITA TERPESONA TERHADAP ALAM SEMESTA, NYATAKAN KEKAGUMAN KEPADA PENCIPTA-NYA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar