Renungan Harian 04 - 09 Mei 2015

RENUNGAN SEPANJANG MINGGU

Senin, 04 Mei 2015
PEMBERITA INJIL SEJATI (Galatia 1:11-24)
Ada orang yang senang memakai perhiasan imitasi untuk bergaya. Ada juga orang lain yang senang mengimitasi tokoh terkenal. Orang seperti ini biasanya mengenal tokoh yang ditirunya sebatas lahiriah saja, artinya ia tidak tahu motivasi dan hakikat dari perilaku tokoh yang dilakoninya. Paulus bukanlah orang yang sedemikian. Ia menjadi pemberita Injil bukan dengan cara meniru para rasul pendahulunya.
Paulus sadar perkataan kerasnya di perikop sebelum ini harus didukung dengan kewibawaan rasulinya. Maka ia telah menegaskan sejak permulaan bahwa ia menjadi rasul dan pemberita Injil bukan karena kehendak manusia, melainkan karena kehendak Allah (ayat 1). Sekarang ia menegaskan bahwa sumber Injilnya bukan dari manusia, melainkan dari Allah sendiri melalui penyataan Yesus Kristus (ayat 11-12). Riwayat hidupnya membuktikan kedua hal tersebut. Pertama, ia dahulu seorang Yahudi saleh yang sekaligus penganiaya jemaat Tuhan. Namun, Tuhan yang memilih dia sejak semula, secara langsung menugaskannya untuk memberitakan Injil kepada bangsa-bangsa non yahudi (ayat 13-16). Kedua, Paulus belajar Injil langsung dari Allah di tanah Arab, sebelum ia bertemu dengan rasul Petrus dan tokoh gereja di Yerusalem, Yakobus (ayat 17-19). Ketiga, pelayanan Paulus di seluruh daerah Siria dan Kilikia menggema sampai ke jemaat di Yudea, sehingga mereka memuliakan Allah (ayat 21-24).
Pertemuan pribadi dengan Tuhanlah yang mengubah Paulus dari penganiaya jemaat menjadi pemberita Injil sejati. Kita juga harus demikian. Jangan mengandalkan dan meniru para tokoh gereja atau pengabar Injil semata-mata. Kita boleh meneladani hal-hal yang baik dari mereka, namun hal-hal itu tidak boleh menggantikan hubungan pribadi kita dengan Tuhan dalam doa dan firman.
 
EFEKTIVITAS PEMBERITAAN INJIL TIDAK BERGANTUNG PADA KEHEBATAN KATA-KATA, TETAPI PADA OTORITAS ALLAH PADA SI PEMBERITA INJIL DAN PADA HIDUPNYA YANG SUDAH DIUBAHKAN.

Sumber: http://www.sabda.org/publikasi/e-sh/2005/06/05

Selasa, 05 Mei 2015
KEBENARAN HARUS DIBELA (Galatia 1:11-24)
Bagaimana perasaan Anda jika dituduh bersalah padahal Anda melakukan hal yang benar? Apakah Anda berusaha mengemukakan kebenaran atau membiarkannya begitu saja?
Rasul Paulus menghasilkan buah pemberitaan Injil dengan mendirikan sebuah jemaat di Galatia (Kis 13-14). Seharusnya Rasul Paulus dipuji dan dihargai karena hal itu, tetapi justru kritikanlah yang muncul. Setelah Rasul Paulus mendirikan jemaat di Galatia, berita Injil yang dia sampaikan serta jabatan kerasulannya diserang oleh kelompok-kelompok Yahudi yang berusaha mengacaukan iman jemaat Galatia. Kelompok Yahudi itu berusaha memaksa jemaat di Galatia untuk disunatkan dan menerima Taurat Musa sebagai syarat agar mereka diselamatkan dan diterima dalam persekutuan orang percaya (7). Mereka juga menuduh Paulus sebagai orang yang tidak termasuk kelompok rasul yang asli, dan karena itu tidak memiliki wibawa rasuli (1, 7, 12). Maka menurut mereka, pemberitaan Paulus menyimpang dan tidak sah (9).Tentu saja bagi Paulus, tuduhan ini terasa mengganggu proses pemberitaan Injil yang dia lakukan. Apalagi jemaat Galatia yang baru bertumbuh sangat mudah memercayai hal-hal yang masuk akal (6-7). Oleh sebab itu, Rasul Paulus mematahkan kritikan dan keraguan yang ditujukan kepadanya dengan menegaskan bahwa Injil yang dia beritakan bukanlah Injil yang berasal dari pengajaran manusia (11-12), melainkan Injil yang diterima melalui penyataan Yesus Kristus (12). Kristus sendirilah yang memilih dan memerintah dia untuk memberitakan Injil kepada bangsa-bangsa lain (15-16). Rasul Paulus dengan tegas memproklamirkan bahwa Injil yang dia beritakan adalah kebenaran (20) dan jabatan kerasulannya dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Allah (1) dan manusia (18-19). 
Jika Paulus tetap berdiri diatas kebenaran dan berusaha untuk memperjuangkan tuduhan palsu yang dilontarkan terhadap dia, apakah kita juga memiliki keberanian untuk mempertahankan kebenaran dan berusaha memperjuangkannya?
   
BERSAMA DENGAN TUHAN YESUS KITA DIMAMPUKAN UNTUK BERJUANG MEMBELA DAN MEMPERTAHANKAN KEBENARAN INJIL SEJATI!

SUMBER: http://www.sabda.org/publikasi/e-sh/2011/08/20

Rabu, 06 Mei 2015
DASAR BERTINDAK (Galatia 1:11-23)
Pada tahun 1973, Loren Cunningham memimpin tim Youth With A Mission (YWAM) untuk membeli sebuah kapal besar bagi penginjilan dunia dan menjadi sorotan publik. Segala kelancaran membuat fokus mereka beralih dari Tuhan kepada kapal. Tuhan menegur melalui firman-Nya dan menyatakan bahwa mimpi tentang kapal itu harus “mati”. Sedih, hancur, malu, mungkin menggambarkan suasana hati Loren dan tim ketika harus membatalkan pembelian dan kehilangan uang muka. Namun, ia menulis: Tuhan memberi kami kesempatan untuk memberi penghormatan yang lebih besar bagi-Nya dengan membiarkan mimpi kami mati, sehingga Dia dapat membangkitkan-Nya kembali. Sembilan tahun kemudian, kapal penginjilan YWAM yang pertama dinamakan Anastasis yang artinya “kebangkitan”.
Kesaksian ini mengingatkan saya pada awal pelayanan rasul Paulus. Bayangkanlah perasaannya saat menjadi “sorotan publik”: ini dia si penganiaya jahat, syukurlah sekarang ia bertobat. Ia harus kehilangan karir dan reputasinya di antara para pemuka agama Yahudi, meninggalkan Yerusalem untuk pergi ke Arab, bersaksi di tengah bangsa non Yahudi. Rasul terpelajar ini juga harus belajar bekerjasama dengan para rasul lain dari latar belakang nelayan dan tukang kayu (ayat 18-19). Namun yang menjadi dasar Paulus melangkah adalah pernyataan Tuhan, bukan manusia, jadi ia tidak mundur (ayat 11-12). Hasilnya? Tuhan dimuliakan (ayat 23)!
Apa yang akan Anda lakukan jika Tuhan berkata bahwa mimpi-mimpi Anda harus mati agar Dia mendapat penghormatan yang lebih besar? Apa yang akan Anda jadikan dasar untuk bertindak? Pendapat manusia, atau kebenaran firman Tuhan?
   
TUHAN, TOLONG AKU PEKA DAN TAAT ARAHAN-MU KARENA RENCANA-MU JAUH LEBIH BAIK DARI RENCANAKU.

Sumber : http://www.renunganharian.net/2012/27-oktober/447-dasar-bertindak.html

Kamis, 07 Mei 2015
MELIHAT KE DUA ARAH (Yosua 1:1-9) 
Selama kebaktian Perjamuan Kudus pada Malam Tahun Baru di gereja, kami mengucapkan doa bersama-sama: “Bapa, kami serahkan tahun yang telah berlalu ini kepada-Mu. Kami menyerahkan kegagalan, penyesalan, dan kekecewaan kami kepada-Mu, karena semuanya itu tidak lagi berguna bagi kami. Sekarang, jadikan kami manusia baru, melupakan yang ada di belakang dan memusatkan pada apa yang di depan kami. 
“Kami serahkan kepada-Mu semua harapan dan impian kami akan masa depan. Murnikan semuanya itu dengan Roh-Mu supaya kehendak kami benar-benar mencerminkan kehendak-Mu untuk kami. 
“Saat kami berdiri di ambang tahun baru, doronglah kami dengan keberhasilan-keberhasilan masa lampau, tantanglah kami dengan kuasa firman-Mu, dan bimbing kami dengan hadirat Roh Kudus-Mu.” 
Melihat ke dua arah pada setiap masa peralihan adalah sesuatu yang baik. Ketika Yosua memimpin Israel, Allah berfirman kepadanya supaya mempertimbangkan masa lampau dan masa depan: “Hamba-Ku Musa telah mati; sebab itu bersiaplah sekarang, seberangilah Sungai Yordan ini, engkau dan seluruh bangsa ini, menuju negeri yang akan Kuberikan kepada mereka, kepada orang Israel itu” (Yosua 1:2). Kemudian Dia berjanji, “Seperti Aku menyertai Musa, demikianlah Aku akan menyertai engkau …. Janganlah kecut dan tawar hati, sebab Tuhan, Allahmu, menyertai engkau, ke mana pun engkau pergi” (ayat 5,9). 
Dengan percaya kepada Allah, kita dapat menoleh ke belakang dan menatap ke depan, lalu melangkah dengan berani memasuki tahun baru.
 
KEMENANGAN-KEMENANGAN MASA LALU MEMBERI KEBERANIAN UNTUK MENGHADAPI MASA DEPAN

Jumat, 08 Mei 2015
MENJAGA HATI (Amsal 4:20-27)
Bayangkan sebuah rumah; bagus dan megah, tetapi tidak terawat. Banyak kotoran dan sampah. Pasti tidak nyaman dan tidak sehat. Sebaliknya, sebuah rumah yang sederhana, tetapi terawat dan tertata baik, pasti akan terasa nyaman dan sehat. Kita pun akan betah tinggal di dalamnya.
Begitu juga dengan hidup kita. Cerah suramnya hidup ini tidak terletak pada kekayaan ataupun fasilitas-fasilitas tertentu, tetapi pada hati yang terjaga dengan baik. Hati yang penuh rasa syukur akan membuat kita melihat hidup ini secara positif. Oleh karenanya, kita tidak akan kehilangan kegembiraan, pun ketika kita tengah menjalani kehidupan yang berat. Sebaliknya hati yang penuh keluh kesah, akan membuat kita melihat hidup hanya dari sisi negatif. Karenanya kita sulit bergembira.
Dalam berelasi dengan orang lain, hati juga bisa sangat menentukan. Hati yang baik dan tulus akan terjelma dalam sikap-sikap yang membangun. Sebaliknya hati yang culas, penuh rasa tidak senang, iri, dan tamak, akan terjelma dalam sikap-sikap yang merusak. Semua yang dilakukan orang lain bisa saja dimaknai secara negatif.
Betapa pentingnya peran hati dalam hidup manusia. Di kitab Amsal kita dapat menemukan 131 ayat yang memuat kata "hati". Dari situ tersirat bahwa menjaga hati itu perlu; khususnya menjaga hati dari segala kotoran dan sampah kehidupan. Untuk itu kita perlu selalu melakukan evaluasi dan introspeksi diri, serta memohon agar Tuhan menolong membersihkan hati kita dari segala hal yang buruk.
     
HIDUP DALAM SYUKUR MEMBUAT LANGKAH KITA TERASA LEBIH RINGAN

Sabtu, 09 Mei 2015
PEMELIHARAAN  LEMBUT ALLAH (Mazmur 31:1-15) 
Ketika sedang berduka, C.S. Lewis mengamati para tetangganya berjalan menyeberang jalan untuk menghindarinya tatkala mereka melihatnya mendekat. 
Daud pun mengalami dukacita ketika ia berkata, "Di hadapan semua lawanku aku tercela, menakutkan bagi tetangga-tetanggaku .... Aku telah hilang dari ingatan seperti orang mati" (Mazmur 31:12,13). 
Mungkin Anda pun pernah dilupakan para sahabat ketika Anda sedang berduka. Mereka tidak menelepon, menulis surat, atau berjanji untuk mendoakan. 
Namun, di saat-saat seperti itu kita dapat merasakan kelembutan Allah yang paling dalam. Ketika hari-hari terasa panjang dan sepi, serta tak seorang pun tampaknya peduli, Dia mencari kita dan menyelimuti kita dengan kasih setia-Nya. Kesedihan kita sama sekali tidak membebani-Nya, tetapi justru membuat-Nya menunjukkan belas kasih yang lembut. Dia mengetahui kesengsaraan jiwa kita (ayat 8). Dan Dia peduli. Karena itulah kita dapat menyerahkan nyawa kita ke dalam tangan-Nya (ayat 6), seperti yang dilakukan Tuhan Yesus ketika semua murid-Nya lari meninggalkan Dia. 
Penyair Frank Graeff bertanya, "Apakah Yesus peduli ketika hati saya terluka begitu dalam sampai tidak bisa bergembira dan bernyanyi; ketika beban mengimpit, kesusahan melanda, dan perjalanan hidup terasa panjang dan meletihkan?" 
Jawabnya? Ya! Dia mengundang kita untuk menyerahkan segala beban dan kesusahan kita kepada-Nya, karena Dia peduli kepada kita (1 Petrus 5:7).  
Percayailah Allah untuk memelihara Anda hari ini 
   
KITA TIDAK PERNAH DAPAT KELUAR DARI LINGKARAN PERHATIAN ALLAH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar