Renungan Harian 31 Des 2012 - 05 Jan 2013

RENUNGAN SEPANJANG MINGGU

Senin, 31 Desember 2012
MENUNDUKKAN DIRI KEPADA RENCANA ALLAH MELALUI YESUS. (Matius 1:18-25)

Jaka dan Gadis berencana hendak menikah pada tahun depan, tetapi sebelum pernikahan terjadi Gadis telah mengandung seorang anak dari laki-laki lain. Jika Anda berada di posisi Jaka tindakan apakah yang akan Anda ambil?
Penulis injil Matius pada nas ini menceritakan suatu peristiwa sebelum kelahiran Yesus yang didominasi dengan pergumulan Yusuf, sebelum ia memutuskan mengambil Maria menjadi istrinya. Yusuf mengalami pergumulan berat ketika ia mengetahui bahwa Maria, tunangannya telah mengandung. Sebagai laki-laki yang tulus hati, Yusuf tidak mau melakukan perbuatan yang "mencemarkan" Maria (ayat 19a). Yusuf merencanakan untuk memutuskan pertunangannya dengan Maria secara diam-diam (ayat 19b). Rencana Yusuf ingin membatalkan pernikahannya dengan Maria menyiratkan satu hal yaitu ia belum mengetahui bahwa Allah memilih Maria menjadi ibu Yesus, Mesias bagi umat manusia. Kemungkinan pada saat itu, Maria tidak menceritakan kepada Yusuf perjumpaannya dengan malaikat Gabriel, utusan Allah (Luk 1:26-38). Sebagaimana Allah menjumpai Maria, Ia pun menyampaikan rencana-Nya tentang Maria dan anak yang akan dilahirkannya, melalui mimpi kepada Yusuf (ayat 20-23). Mimpi inilah yang meneguhkan keberanian Yusuf untuk menikahi Maria (ayat 24). Keputusan Yusuf menyatakan kepatuhannya terhadap perintah Allah. Keberanian Yusuf menunjukkan kepercayaannya terhadap rencana keselamatan Allah bagi umat manusia melalui Yesus (ayat 25).
Yusuf berani melangkah untuk menikahi Maria dalam keadaan mengandung itu karena ia mau menundukkan dirinya kepada kedaulatan Allah dengan mengesampingkan kepentingannya. Seringkali kita tidak berani mengambil keputusan untuk tunduk kepada kehendak dan rencana Allah karena kita lebih mementingkan keinginan diri sendiri. Kita cenderung tidak bersedia mengambil resiko kehilangan sesuatu yang kita sukai dengan mengalihkan fokus hidup kepada rancangan Tuhan.
Renungkan: Rencana besar Allah untuk dunia ini tidak dikerjakan-Nya sendiri tetapi mengikut sertakan manusia.

Selasa, 01 Januari 2013
STANDAR PENCAPAIAN (Matius 6:19-34)

Orang dunia mengukur keberhasilan hidup sehari-hari berdasarkan pencapaiannya. Ukuran pencapaian itu selalu berhubungan dengan harta atau uang yang dimiliki. Pencapaian dimulai dari hati (21) dan sejauh mana tubuh seseorang digerakkan oleh keinginan mata (22-23). Ironisnya, orang dunia tidak menyadari bahwa semua hartanya suatu hari kelak akan lenyap (19) sementara dirinya terus mencari untuk menimbunnya, walaupun harus melakukan berbagai kejahatan.
Orang Kristen, sebaliknya. Matius melanjutkan pengajaran Yesus dengan frasa "karena itu". Tujuannya untuk mengontraskan sikap Kristen seharusnya dengan kenyataan dunia. Pengajaran Yesus ini justru menunjukkan betapa banyak orang Kristen yang terjebak dalam menerapkan standar duniawi, yaitu mengukur hidup dari harta yang dimiliki. Justru hal tersebut mendatangkan kekhawatiran (25, 31-32). Seharusnya orang Kristen memakai standar pencapaian yang diukur oleh iman. Hidup itu tidak bergantung pada apa yang akan kita makan, minum atau pakai, tetapi pada Tuhan. Iman berarti mengenal dan memercayai Allah sebagai Bapa yang mengetahui kebutuhan hidup kita dan akan mencukupkan kita. Malahan, seharusnya ukuran pencapaian dalam kerajaan Allah adalah "carilah dahulu kerajaan Allah dan kebenarannya" (33). Keberhasilan kita diukur dari ketundukan kita pada Allah sebagai Raja, dan bagaimana kita memberlakukan kebenaran di dalam kerajaan-Nya. Hal ini konsisten dengan karakteristik kebahagiaan yang dialami oleh orang yang lapar dan haus akan kebenaran (bdk. Mat 5:6).
Sebagai anak-anak Tuhan yang sudah menerima anugerah keselamatan dan sedang mengembangkan karakter surgawi, kita perlu belajar terus apa artinya beriman. Beriman berarti percaya penuh kepada Tuhan dan memercayakan diri sepenuhnya pada cara Tuhan mengelola hidup kita. Jangan kacaukan cara Tuhan dengan cara dunia. Cara dunia, sekali lagi mencadangkan dan menginvestasikan harta dunia. Cara Tuhan, tunduk penuh pada kedaulatan-Nya dan menginvestasikan harta surgawi (20)!

Rabu, 02 Januari 2013
STANDAR PENILAIAN DIRI (Matius 7:1-12)
Relasi dengan sesama sering kali bergantung pada ukuran yang kita kenakan pada orang lain atau sebaliknya, apa yang orang lain ukur dari diri kita. Sering kali ukuran itu berkaitan dengan apa yang dimiliki dan dihasilkan orang itu.
Matius menuliskan pengajaran Yesus dalam hal menghakimi berkaitan dengan apa yang dihasilkan oleh orang yang tidak memiliki karakter surgawi, yaitu orang yang di luar Kristus. Ukuran yang ia pakai adalah dirinya sendiri yang berdosa. Ia tidak dapat melihat dalam terang Kristus apa yang menjadi kekurangan dirinya sendiri. Seseorang yang tidak memiliki Kristus tidak akan dapat melihat dengan ‘jelas’ kesalahan dirinya sendiri, apalagi kesalahan orang lain (5). Maka, penghakimannya itu pasti salah dan ngawur.
Yesus mengajar lebih lanjut untuk ‘tidak melemparkan mutiaramu kepada babi’ (6). Babi menggambarkan orang yang karena tidak memiliki Kristus, tidak pula memiliki kepekaan akan apa yang mulia dan tidak mulia. Sikap menghakimi orang lain adalah sikap yang tidak mulia. Maka, ‘sia-sia’-lah mengajari orang tersebut dengan hal yang mulia, ia pasti menolaknya.
Yesus meneruskan dengan nasihat kepada anak-anak Tuhan untuk berdoa (7-11). Ketika kita sadar bahwa kepekaan kita akan hal yang mulia itu belum terbangun, kita dengan iman meminta hal tersebut pada Allah. Bapa di surga melebihi orang tua di dunia ini, Ia akan memberikan karakter yang mulia bagi setiap anak-Nya yang memintanya.
Perintah negatif ‘jangan menghakimi’ diubah menjadi perintah positif. ‘Lakukan perbuatan baik kepada sesama!’ (12). Inisiatif memberikan yang terbaik harus dimulai dari kita, yang sudah menerima anugerah karakter surgawi.
Kita harus terus menerus memberi diri diubah oleh Kristus sehingga karakter surgawi terbentuk dalam hidup kita. Semakin kita mengenal Kristus dan nilai-nilai mulia-Nya dalam hidup kita, semakin kita memancarkan nilai-nilai mulia itu. Nilai-nilai itu membuat kita tidak mudah menghakimi orang lain, sebaliknya kita akan selalu memberikan yang terbaik buat mereka.

Kamis, 03 Januari 2013
BUAH KETEKUNAN (Ibrani 12:1-3)
Saat berangkat dari rumah pagi-pagi, saya melihat siput itu di bawah pohon, merayap ke atas perlahan. Sejenak saya memperhatikan. "Kapan nyampainya?" begitu pikiran yang tebersit di benak saya. Ya, siput itu merayap begitu perlahan. Mungkin semilimeter setiap langkah. Padahal pohon itu juga tidak mulus; penuh gurat kulit pohon yang pecah, ada benjolan bekas dahan patah, juga lekukan entah bekas apa. Namun, siput itu terus merayap, pelan tetapi pasti.
Siangnya, sekembali ke rumah, saya melihat siput itu sudah berada di dahan atas. Untuk melihatnya, saya harus mendongakkan kepala. Sungguh sebuah pencapaian yang luar biasa, mengingat begitu perlahannya siput itu merayap dan begitu banyaknya "tantangan" yang harus ia lalui. Itulah buah ketekunan.
Sayangnya dalam lingkup pelayanan dan hidup beriman, ketekunan itu tampaknya sudah semakin langka, digantikan "mentalitas cepat bosan"; mudah menyerah, tidak tahan uji. Dalam pelayanan, sedikit saja mendapat kritikan terus ngambek; sedikit saja menghadapi kekecewaan terus ingin mundur. Dalam hidup beriman, sedikit saja dihantam kesulitan, terus mengomel-ngomel; protes kepada Tuhan; tidak mau lagi ke gereja. Akibatnya, kita pun jadi tidak maju-maju; iman kita tidak bertumbuh.
Maka, marilah kita mendasari pelayanan dan hidup beriman kita dengan mata yang tertuju hanya kepada Kristus. Sebab, Dialah sumber insipirasi dan teladan ketekunan yang terbaik (ayat 3). Dan hanya dengan demikian ketekunan kita dapat terus dibangkitkan, sehingga kita pun tidak akan cepat berputus asa atau menjadi lemah. (AYA)
BUAH KETEKUNAN ITU SELALU LEBIH MANIS

Jumat, 04 Januari 2013
LEPAS DARI CENGKERAMAN IBLIS (Matius 8:28-34)

Permusuhan antara kebenaran dan kejahatan sudah terjadi sejak di taman Eden (Kej 3:15) sampai kedatangan Yesus pertama hingga masa kini di 2013 bahkan sampai kedatangan-Nya kedua kali. Iblis sebagai penghulu kuasa jahat berusaha merebut jiwa manusia untuk membinasakannya. Namun, Yesus datang untuk membebaskan manusia dari Iblis, dosa, dan maut. Di mata Allah setiap jiwa manusia sangat berharga, sehingga Dia mengutus Yesus mati disalib demi menyelamatkannya.
Penyelamatan dari Yesus bukan hanya untuk umat Israel, tetapi untuk semua bangsa. Yesus pergi ke Gadara, wilayah nonYahudi untuk menyelamatkan dua orang yang dirasuk setan. Yesus sengaja menemui kedua orang itu untuk membebaskan mereka dari siksa roh-roh jahat karena tidak ada kuasa lain yang dapat menolong mereka. Dengan otoritas-Nya sebagai Raja kerajaan surga, Ia memerintahkan setan untuk keluar dari kedua orang tersebut. Atas izin-Nya, roh-roh jahat itu masuk ke dalam kawanan babi yang kemudian terjun di danau, lalu binasa.
Berpindahnya roh jahat merasuk babi merupakan hal yang sepantasnya karena babi adalah kejijikan dan haram dalam Taurat Perjanjian Lama. Yesus seolah tak mempedulikan kerugian pemilik ternak babi itu demi keselamatan jiwa satu orang. Harga orang yang diselamatkan-Nya sekitar milyaran rupiah bila dihitung pada saat ini. Nyawa manusia tidak bisa dihitung dengan uang karena pelayanan akan satu jiwa menuntut harga kematian. Kematian Yesus disalib dengan darah tercurah bernilai jauh melebihi emas dan perak sedunia karena darah-Nya yang kudus dicurahkan untuk menebus umat pilihannya dari cengkeraman maut.
Demonstrasi kuasa Sang Raja kerajaan surga tidak dapat disangkali. Setiap orang harus merespons dengan benar. Matius tidak memberitahu kita respons kedua orang yang disembuhkan itu. Markus dan Lukas mencatat bahwa keduanya ingin mengikut Yesus. Namun, Yesus menugaskan mereka menjadi saksi Kristus di kota mereka. Respons penduduk kota menolak Yesus. Bagaimana respons Anda?

Sabtu, 05 Januari 2013
ORANG KRISTIANI YANG BERKUALITAS (Ibrani 12)
Sewaktu mengunjungi New England, saya diberi sekaleng sirop maple Vermont murni oleh sang produsennya sendiri. Pria itu secara terus menerus telah memenangkan penghargaan karena kualitas produknya.
Membuat sirop dengan kualitas semacam itu bukanlah tugas yang mudah. Komposisi, rasa, dan warnanya tergantung dari banyak faktor, antara lain: pohon tempat buah itu diambil, waktu pemetikan buah, kondisi cuaca saat itu, dan keahlian orang yang mengawasi proses perebusan dan penyaringan. Kualitas terbaik itu dihasilkan dari sebuah prosedur yang dikerjakan secara cermat dari awal sampai akhir.
Hal ini mengingatkan saya pada cara Allah untuk memurnikan kehidupan anak-anak-Nya. Bahkan sekarang Dia sedang bekerja di dalam kita. Api penderitaan dan ujian yang menimpa mungkin untuk sesaat menyakitkan, tetapi kemudian hal-hal itu akan membuahkan hasil, yakni berkat dan ganjaran yang besar (Ibrani 12:11).
Saya ingat betul ketika kakak saya dan saya mengumpulkan sari buah dari pohon-pohon maple di halaman belakang. Kami menempatkannya dalam sebuah tong besar lalu menumpangkannya di atas tungku di ruang bawah tanah, tetapi kemudian kami melupakannya. Berjam-jam setelah itu Ibu hampir pingsan ketika membuka pintu ruang bawah tanah dan disambut dengan gulungan awan asap. Betapa bersyukurnya kita bahwa Allah tidak pernah melupakan kita seperti itu. Ia tahu persis panas yang diperlukan untuk menjadikan kita orang kristiani yang berkualitas!-RWD
TUHAN MENGIRIMKAN UJIAN BUKAN UNTUK MERUSAK KITA TETAPI UNTUK MEMPERBAIKI KITA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar