Renungan Harian Sepanjang Minggu
Senin, 11 Mei 2009BAGAIMANA MUNGKIN SUKACITA TERWUJUD (Filipi 4:1-7)
Seperti Tuhan Yesus menjelang kematian-Nya berdoa untuk kesehatian para pengikut-Nya, kini Paulus dalam keadaan terpenjara pun mempedulikan keadaan gereja di Filipi. Ketidakserasian hubungan, apalagi itu terjadi di antara para aktivis seperti Euodia dan Sintikhe, adalah hal yang tidak baik dibiarkan. Paulus meminta keduanya bersikap sepadan dengan status mereka sebagai pewaris hidup kekal (ayat 3). Di dalam Kristus semua orang percaya adalah sesama pewaris Kerajaan. Karena itu, ia meminta juga warga jemaat lainnya (Sunsugos berarti sesama pemikul kuk - 3) untuk turut berusaha mendamaikan kedua pelayan Tuhan itu. Hanya gereja yang warganya sehati terdapat kesukaan. Ini juga kondisi yang membuat hamba Tuhan dan Tuhan melihat gereja sebagai sukacita dan mahkota (ayat 1).
Berbagai kesulitan seperti yang dialami gereja di Filipi wajar membuat mereka kurang bersukacita. Kekuatiran baik tentang kehidupan pribadi maupun gereja memang bisa membuat kesukaan menjadi sesuatu yang tidak akrab dalam pengalaman Kristen. Tetapi Paulus mengingatkan bahwa sukacita Kristen berasal dari Tuhan (ayat 4). Sebaliknya dari membiarkan kondisi sukar mempengaruhi sikap Kristen, Paulus meminta agar Kristen di Filipi secara aktif menyatakan kebaikan hati mereka (ayat 5). Status 'dalam Tuhan' yang menjadi sumber Kristen memiliki sukacita dan damai sejahtera tidak boleh dihayati oleh orang Kristen secara pasif. Hanya bila secara aktif orang Kristen memupuk status tersebut dalam doa, maka relasi dengan Tuhan itu menjadi komunikasi yang hidup dan hangat. Dalam kondisi demikian kekuatiran tak beroleh tempat sebab damai dan sukacita Allah sendiri penuh dalam hati orang percaya (ayat 4-7).
Renungkan: Sukacita dan damai tidak tergantung pada kondisi luar tetapi pada keakraban hubungan sesama Kristen dan dengan Tuhan.
Selasa, 12 Mei 2009
BERPIKIR POSITIF ALA KRISTEN. (Filipi 4:8-13)
Dalam dosa manusia suka memikirkan apa yang jahat dan tidak benar di mata Tuhan. Paulus mengajak jemaat di Filipi belajar mengontrol atau melatih pikiran untuk hal-hal yang baik. Banyak hal yang kita lakukan dipicu dan dikendalikan oleh apa yang kita pikirkan. Misalnya jika kita berpikir jahat tentang seseorang maka kita akan menyatakannya pula dalam relasi dan sikap kita terhadap dia. Ketika kita berpikir kotor kita didorong untuk melakukan hal yang kotor pula. Sebaliknya, apabila kita memikirkan apa yang benar, yang mulia, yang adil, suci dan seterusnya (ayat 8), kita juga akan melakukan hal-hal benar, mulia, adil, suci. Paulus sendiri mempraktikkan prinsip ini, sehingga ia dapat hidup tanpa didikte oleh keadaan (ayat 10-13).
Pikiran tidak memiliki kekuatan otonom untuk menentukan apa yang hendak dipikirkannya. Pikiran membutuhkan anugerah Tuhan agar dapat berfungsi dengan benar. Pengudusan pikiran adalah hal yang sangat penting. Dengan anugerah Tuhan kita melatih pikiran kita dengan jalan merenungkan firman Tuhan (ayat 8). Hal-hal dalam ayat 8 meliputi berbagai macam modus kehidupan. "Yang benar" mencakup aspek rasionalitas; "yang mulia" aspek ibadah; "yang adil" aspek hukum; "kesucian atau kemurnian" mencakup aspek kesalehan; "yang manis" aspek estetika; "sedap didengar" aspek informasi yang kita konsumsi; "kebajikan" berkaitan dengan moral dan etika; "patut dipuji" mencakup konsep nilai. Kekristenan mengajarkan keutuhan dan bukan keterkepingan. Jika hati kita telah dikuduskan oleh Kristus maka seluruh aspek hidup kita pun harus dikuduskan.
Renungkan: Aku akan belajar melatih pikiranku untuk merenungkan hal-hal yang benar, yang mulia, dll. dan mengekspresikannya dalam totalitas hidupku!
Rabu, 13 Mei 2009
KECEMASAN PENUH DAMAI (Filipi 4:4-13)
Saya dijadwalkan untuk mengajar di sebuah konferensi Alkitab di luar Amerika Serikat dan sedang menunggu keluarnya visa. Permohonan visa itu pernah ditolak, dan waktu terus berjalan. Tanpa visa, maka saya akan kehilangan kesempatan melayani, dan rekan-rekan saya di negara itu harus mencari pembicara lain di saat-saat terakhir.Selama hari-hari penuh tekanan itu, seorang rekan kerja menanyakan bagaimana perasaan saya sehubungan dengan hal tersebut. Saya mengatakan bahwa saya mengalami "kecemasan yang penuh damai". Ketika ia memandang saya dengan tatapan bingung, saya menjelaskan, "Saya memang cemas karena saya memerlukan visa tersebut tetapi tidak dapat melakukan apa-apa untuk hal itu. Namun, saya memiliki kedamaian luar biasa karena saya tahu bahwa, apa pun yang terjadi, saya tidak berhak mengubah keadaan!"
Mengetahui bahwa hal-hal seperti itu ada dalam tangan Allah merupakan sesuatu yang melegakan. Ketidakmampuan saya untuk melakukan sesuatu atas masalah tersebut tidak sekedar membuat saya percaya kepada Allah, yang sanggup membuat segala hal menjadi mungkin. Ketika saya mendoakan keadaan itu, kecemasan saya berganti dengan damai-Nya (Filipi 4:6,7).
Persoalan hidup bisa saja membebani kita secara fisik, emosi dan rohani. Namun demikian, saat kita belajar memercayai pemeliharaan Allah, maka kita dapat memiliki kedamaian yang tidak hanya melampaui segala pemahaman, tetapi juga mengatasi kecemasan kita. Kita bisa merasa tenang, karena kita berada dalam tangan Allah
Renungkan: Jika kita memikirkan Allah, Allah dapat membuat pikiran kita tenang. (WEC)
Kamis, 14 Mei 2009
DAMAI DI TENGAH BADAI. (Mazmur 37:1-11)
Kemudian, seorang penumpang yang ditugasi untuk mencari tahu apakah masih ada harapan untuk selamat mencoba mencari kapten kapal. Sambil berpegangan pada dinding dan tangga, ia berjalan menuju geladak kapal yang terombang-ambing oleh ombak. Lalu ketika mendekati ruang kemudi, ia melihat bahwa kapal sudah mendekati daratan meski harus melewati batu-batu karang yang tajam. Dan, sang kapten tampak sedang berusaha keras mengarahkan kapal ke sebuah teluk tenang yang tampak di depan agar mereka selamat. Menyadari bahwa suaranya tak mungkin terdengar di antara deru angin dan ombak, sang kapten hanya memandang tanpa mengucapkan sepatah kata pun, lalu tersenyum. Dengan lega pria tadi kembali kepada yang para penumpang yang lain dan berkata, “Jangan kuatir. Semuanya baik-baik saja. Saya sudah melihat wajah si kapten kapal, dan ia tersenyum!”
Manakala terpukul oleh ombak kehidupan, kita mungkin tergoda untuk menyerah pada keputusasaan. Namun jika kita mau melihat “sang Kapten” yang berkuasa dan mempercayakan hidup kita kepada-Nya (Mazmur 37:5), kita akan menemukan damai di tengah “badai.” Kita dapat mempercayai Dia untuk membawa kita melewati badai kehidupan.
Renungkan: Allah dapat meredakan badai di sekitar anda tetapi dia lebih sering meredakan badai dalam diri anda. (HGB)
Jumat, 15 Mei 2009
DAMAI YANG SEMPURNA. (Mazmur 119: 161-168)
Apakah Anda pernah berada dalam situasi akan meninggal? Beberapa tahun yang lalu, seorang pensiunan utusan Injil berada dalam sebuah pesawat yang berputar-putar di atas kota St. Louis dan tidak dapat mendarat karena cuaca buruk menghalangi pandangan. Sementara persediaan bahan bakar semakin menipis, ia menulis untuk berjaga-jaga keinginannya yang terakhir dan surat wasiat: "Ada damai, damai yang sempurna.... Hidup bersama Kristus adalah cara untuk hidup. Pada saat-saat seperti ini ada jaminan bahwa Allah yang mengatasi segala ketidakpastian dalam keberadaan manusia. Karena itu saya berserah pada Allah."Jika Anda atau saya berada dalam saat genting yang tidak hanya memberi kesempatan tetapi juga dorongan untuk menyatakan iman, apa yang ingin kita ungkap dalam surat wasiat? Apakah surat itu berisi kesaksian yang jelas dan jernih tentang kenyataan adanya Allah, kepastian akan kehadiran Juruselamat, dan perasaan damai karena berkat surgawi yang cukup?
Pada saat bingung maupun tenang, apakah Anda mengenali damai yang diungkap Pemazmur saat menulis: "Besarlah ketenteraman pada orang-orang yang mencintai Taurat-Mu"? (Mazmur 119:165). Pernahkah Anda mengalami apa yang dikatakan Yesus, "Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu"? (Yohanes 14:27).
Mempercayai Tuhan adalah benar-benar cara terbaik untuk menjalani hidup ini. Itulah satu-satunya cara yang dapat melenyapkan ketakutan ketika ajal menjelang
Renungkan: Jika kita terus mengarahkan pikiran pada Allah, Allah membuat pikiran kita damai [VCG]
Sabtu, 16 Mei 2009
MENIKMATI HIDUP. (Pengkhotbah 8:14-17)
John Robinson, ahli sosiologi dari Universitas Maryland, College Park, Amerika Serikat (AS), mengadakan penelitian tentang kebahagiaan hidup. Ia meneliti 30.000 orang dewasa di AS sejak 1975 sampai 2006. Hasilnya? Orang yang bahagia adalah orang yang aktif dan gemar membaca. Sebaliknya, orang yang tidak bahagia menghabiskan banyak waktu mereka untuk menonton televisi. Akibatnya, mereka jarang melakukan kegiatan lain yang bermanfaat, seperti berolahraga, menghadiri pertemuan keagamaan, atau bergaul dengan masyarakat. Jadi, apabila kita ingin bahagia, kuncinya bukan duduk pasif menjadi penonton, melainkan secara aktif menikmati hidup.Salomo, hampir tiga ribu tahun yang lalu, ternyata menyarankan hal serupa. Konteks sarannya adalah adanya masalah-masalah yang tidak terpecahkan dalam hidup ini. Menghadapi kondisi itu, kita bisa cemas dan menggerutu; bersikap pasif dan menjadi penonton. Padahal, masalah semacam itu memang akan tetap menjadi misteri selama kita berada di bawah matahari. Karena itu, ia menawarkan jalur alternatif: lebih baik kita belajar mengembangkan kebahagiaan hidup. Bagaimana caranya? Seperti kesimpulan penelitian tadi, kita sepatutnya menikmati hidup ini hari demi hari.
Kita menikmati hidup dengan bersyukur atas makanan, pekerjaan, dan rekreasi yang Tuhan sediakan. Hal-hal itu mendatangkan kesegaran dan memulihkan kekuatan kita. Selanjutnya, kita memanfaatkan kekuatan tersebut sebaik mungkin untuk melayani dan memuliakan Dia. Itulah kehidupan yang membahagiakan dan bermakna!
Renungkan: Kebahagiaan hidup dapat dijangkau dengan hati yang bersyukur. (ARS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar