RENUNGAN SEPANJANG MINGGU
Senin, 06 Juli 2015
ENGKAU SAUDARAKU (Galatia 3:26-4:7)
Dalam masyarakat Romawi, seorang anak yang beranjak dewasa (akil balig) mengganti jubah anak-anaknya dengan jubah orang dewasa. Hal ini menandakan bahwa dia sekarang adalah seorang dewasa yang memiliki hak dan tanggung jawab penuh. Paulus memakai pengertian budaya ini untuk menjelaskan konsep baptisan. Melalui baptisan, orang-orang percaya menyatakan diri siap bersikap dewasa iman dengan mengambil hak dan tanggung jawab penuh kedewasaan itu. Mereka telah menanggalkan jubah lama hukum Taurat dan di dalam Kristus telah mengenakan jubah baru kebenaran (ayat 26-27).
Salah satu hasil penyelamatan itu adalah tidak ada lagi perbedaan di antara orang percaya karena semua adalah satu di dalam Kristus Yesus (ayat 28). Mengapa Paulus menekankan hal persatuan ini? Beberapa laki-laki Yahudi, setiap pagi menaikkan doa pengucapan syukur dengan mengatakan: "Tuhan, saya bersyukur karena saya bukan orang kafir, budak, atau wanita." Mereka sangat bangga dengan jati diri mereka yang tidak dimiliki oleh orang lain. Paulus mengingatkan mereka, bahwa sebelum Kristus datang membebaskan mereka, jati diri mereka tidak lebih daripada hamba (ayat 4:1-3). Namun, jati diri sejati umat Tuhan ada pada karya penebusan Kristus yang menjadikan semua orang percaya sebagai anak-anak Allah dan ahli waris surgawi (ayat 4-7).
Salah satu wujud kebebasan di dalam Kristus adalah tidak lagi ada diskriminasi ras, gender, dan status sosial di dalam gereja. Dahulu kita semua adalah hamba dosa, tetapi oleh anugerah Allah kita sekarang adalah anak-anak-Nya. Oleh sebab itu, sebelum kita keluar mengabarkan Injil lintas ras, gender, dan status sosial, kita harus lebih dahulu membereskan prasangka-prasangka seperti itu dari lingkungan gereja dan persekutuan kita.
SALAH SATU BUKTI KEBEBASAN SEJATI DI DALAM KRISTUS ADALAH TATKALA KITA MAMPU BERKATA KEPADA ORANG YANG PALING BERBEDA DARI KITA, "ENGKAU SAUDARAKU."
Selasa, 07 Juli 2015
HIDUP SEBAGAI ANAK RAJA (Galatia 3:19-4:7)
Ada kisah kuno mengenai seorang lelaki bernama Astyages yang berniat membunuh pangeran yang masih bayi bernama Cyrus. Lalu ia memanggil seorang prajurit di lingkungan rumahnya dan menyuruhnya membunuh bayi itu. Prajurit tersebut kemudian menyerahkan bayi itu kepada seorang gembala dan menyuruhnya naik dan menaruh bayi itu di atas gunung supaya mati kedinginan.
Tetapi gembala dan istrinya justru mengambil bayi itu dan memeliharanya seperti anak mereka sendiri. Karena dibesarkan dalam keluarga petani yang sederhana, ia mengira bahwa mereka adalah orangtuanya yang sebenarnya. Ia tidak menyadari darah bangsawan dan garis keturunan raja yang ada dalam dirinya. Karena ia berpikir ia seorang petani miskin, ia pun hidup seperti petani.
Banyak orang kristiani tidak menyadari bahwa mereka adalah ahli waris raja. Padahal mereka memiliki hak waris itu melalui Kristus. Mereka hidup seperti petani rohani yang miskin ketika mereka seharusnya hidup sebagai raja. Menurut Rasul Paulus, orang percaya “adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus Kristus” (Galatia 3:26). Ia juga mengatakan, “Dan karena kamu adalah anak, maka Allah telah menyuruh Roh Anak-Nya ke dalam hati kita, yang berseru: ‘ya Abba, ya Bapa.’ Jadi kamu bukan lagi hamba, melainkan anak; jikalau kamu anak, maka kamu juga adalah ahli-ahli waris, oleh Allah” (4:6,7)
Allah telah memberi kita segala yang kita perlukan untuk hidup penuh kemenangan dan kelimpahan. Jangan hidup seperti “petani miskin”
SEORANG ANAK RAJA HARUS MENCERMINKAN KARAKTER BAPANYARabu, 08 Juli 2015
“WAKTU LUNAK” (Galatia 3:26-4:7)
Setelah meneliti perilaku ribuan pengguna telepon genggam, James Katz, seorang profesor di bidang komunikasi di Rutgers University, menyimpulkan bahwa telepon genggam telah mengubah pembawaan cara berpikir kita tentang waktu. Para periset mengatakan bahwa Amerika Serikat kini hidup di dalam “waktu lunak”. Istilah tersebut diciptakan untuk menggambarkan pemikiran para pengguna telepon genggam yang menelepon pada pukul 8.20 untuk mengatakan ia akan terlambat hadir dalam rapat yang diadakan pukul 8.30, datang pukul 8.45, dan menganggap dirinya tepat waktu karena ia telah menelepon sebelumnya.
Tidak seperti kita, Allah senantiasa tepat waktu. Kita berusaha memahami mengapa Dia tidak bertindak di dalam peristiwa-peristiwa dunia atau di dalam kehidupan pribadi kita secepat yang seharusnya Dia perbuat menurut pemikiran kita. Akan tetapi, Alkitab menyatakan ketepatan waktu Allah yang Perkasa menurut rencana-Nya. Galatia 4:4,5 berbunyi, “Setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak- Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat. Ia diutus untuk menebus mereka, yang takluk kepada hukum Taurat, supaya kita diterima menjadi anak.” Dan Roma 5:6 berbunyi, “Waktu kita masih lemah, Kristus telah mati untuk kita orang-orang durhaka pada waktu yang ditentukan [pada saat yang tepat] oleh Allah.”
Kita dapat memercayai Allah yang bijak dan penuh kasih ini, yang tidak pernah terlambat dalam rencana kekal-Nya, yang tepat waktu dalam segala aspek kehidupan kita yang sekecil-kecilnya.
PENGATURAN WAKTU ALLAH SENANTIASA TEPAT
Kamis, 09 Juli 2015
HANYA SATU JALAN? (Kisah Para Rasul 4:1-13)
Apakah Yesus satu-satunya jalanbagi keselamatan manusia? Men-jawab pertanyaan ini, Robertson McQuilkin memberi suatu analogi. Bayangkan Anda adalah satpam rumah sakit yang bertugas di lantai 10. Anda tahu lokasi tangga darurat yang denahnya sudah ditandai dengan jelas. Ketika terjadi kebakaran besar, tepatkah jika Anda mendiskusikan kemungkinan adanya jalan aman selain melalui tangga darurat tersebut atau kemungkinan selamat jika terjun dari lantai 10? Tanggapan paling tepat adalah membawa semua pasien secepat mungkin menuju tangga darurat.
Petrus dan Yohanes ditangkap, ditahan, dan disidang. Mereka diancam dan dilarang keras untuk berbicara tentang Yesus. Namun, mereka tidak dapat dihentikan. Alasannya lugas dan logis: Jika keselamatan bagi manusia di seluruh dunia hanya ada di dalam iman kepada karya Yesus (ayat 12), bagaimana mungkin tidak menyebarluaskan pengalaman dan kabar baik ini kepada semua orang (ayat 20)? Tidak mungkin. Yesus sendiri pernah mengajar mereka, "Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku" (Yohanes 14:6).
Pertanyaan besarnya bukanlah mengapa jalan keselamatan hanya satu atau bagaimana nasib kekal dari orang-orang yang terhilang. Misteri besarnya ialah mengapa kita sibuk melakukan banyak hal yang baik, tetapi tak sempat mengusahakan agar semua orang mendengar Firman kehidupan dalam Kristus yang memerdekakan.
DARIPADA MENCARI ALASAN PEMAAF BAGI KITA UNTUK TIDAK MEMBAGIKAN KABAR KELEPASAN INI, MARI KITA MENCARI CARA KREATIF UNTUK MENYAMPAIKANNYA KEPADA SEBANYAK MUNGKIN ORANGJumat, 10 Juli 2015
BEBAS ATAU DIPERHAMBA (1 Korintus 6:12-20)
Salah satu pandangan yang banyak saya dengar dari rekan nonkristiani adalah: "Enak ya, jadi orang kristiani itu tidak banyak aturannya, bebas." Di sisi lain, tak jarang "ketidakbebasan" dari orang nonkristiani terdengar dijadikan lelucon oleh saudara-saudara kristiani. Apa kata Alkitab tentang kebebasan ini?
Pengikut Kristus diselamatkan karena anugerah, bukan karena memenuhi aturan tertentu. Jadi, benar bahwa kita memiliki kebebasan dalam Kristus. Akan tetapi, ketika kebebasan itu digunakan sekehendak hati manusia yang berdosa, kita justru akan diperhamba oleh hal lain. Beberapa jemaat di Korintus, misalnya, telah memperhambakan tubuh mereka pada hasrat seksual sehingga rusaklah pernikahan yang seharusnya menjadi cerminan hubungan Tuhan dengan jemaat-Nya (ayat 15-20, lihat juga pasal 5:1). Paulus menegur mereka: Jangan diperhamba oleh suatu apa pun. Muliakan Allah dengan tubuhmu! (ayat 12, 20).
Adakah kita juga sedang diperhamba oleh sesuatu? Saya terkesan dengan sebuah jemaat di Minneapolis. Tadinya sederetan larangan mengatur kehidupan jemaat itu. Namun, kemudian mereka memutuskan mengganti komitmen mereka: "Kami bertekad untuk menjauhi segala obat-obatan, makanan, minuman, dan praktik-praktik lain yang dapat membahayakan tubuh, atau yang dapat melemahkan iman kami atau iman saudara-saudara kami." Mereka menolak diperhamba oleh apa pun, tetapi menggunakan kebebasan mereka di dalam Kristus untuk memilih tindakan yang mempermuliakan Dia di antara jemaat dan di tengah masyarakat yang memperhatikan mereka. Bagaimana dengan Anda dan saya?
KITA DIPERHAMBA DOSA KARENA MENURUTI KEHENDAK DIRI. KITA BEBAS BERBUAT BENAR KARENA MENURUTI KEHENDAK TUHAN.Sabtu, 11 Juli 2015
BELUM BERAKHIR (Pengkhotbah 9:11,12)
Sebuah surat kabar memuat berita berjudul: Joki Kalahkan Kuda Melampaui Garis Finis. Joki itu terpental dari kudanya sejauh 20 kali panjang kuda, sedangkan kudanya terpental sejauh 1 kali panjang badannya saat si joki terlempar dan melampaui garis finis. Kudanya yang tersandung menyusul segera sesudahnya. Namun pemenangnya adalah kuda bernama Slip Up [tergelincir] yang memasuki garis finis setelah joki itu. Seorang panitia berkata bahwa sebenarnya joki itu "sudah mendahului jauh di depan. Jadi, hanya kecelakaan aneh saja yang akan menghentikannya ... dan itulah yang terjadi."
Kita semua pernah mengalami peristiwa tak terduga. Penulis kitab Pengkhotbah telah mengamati peristiwa itu saat berkata, "kemenangan perlombaan bukan untuk yang cepat, dan keunggulan perjuangan bukan untuk yang kuat" (9:11). Ia merefleksikan ayat itu pada fakta bahwa manusia tidak berkuasa atas jalan hidupnya seperti yang sering dipikirkan selama ini.
Hidup ini penuh dengan pengalaman dan peristiwa tak terduga. Segalanya bisa terjadi tiba-tiba. Orang yang kuat dan sehat bisa tiba-tiba mati. Atlet muda yang sedang naik daun bisa tiba-tiba mengidap penyakit yang melumpuhkan. Seseorang yang kaya bisa tiba-tiba kehilangan segalanya karena transaksi yang buruk.
Pelajaran apa yang dapat kita petik dari hal ini? Jangan mengandalkan kekuatan sendiri, kebijaksanaan sendiri, atau kemampuan sendiri, tetapi berserahlah kepada Tuhan yang mengetahui akhir dari suatu permulaan.
Perlombaan dalam hidup ini belumlah berakhir hingga Dia mengatakan selesai (MRDII)
HIDUP TANPA IMAN KEPADA ALLAH BAGAIKAN MENGEMUDI DALAM KABUT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar